Hi ALL ,  welcome  |  MY SITE  |  PLEASE READ  |  THANK'S YOU ALL
Selamat datang di online learning, Ayo, terus belajar dan ilmu adalah teman yang paling baik. (kritik dan saran hubungi mhharismansur@gmail.com atau Hp. 081329653007)

Yang Terasing

Written By mhharismansur on Rabu, 09 Januari 2013 | 16.03


Suku Tarahumara dari Meksiko berhasil menghindari para penakluk dari Spanyol pada abad ke-16. Namun, apakah mereka mampu menghadapi serangan kehidupan masyarakat modern?

OLEH CYNTHIA GORNEY
FOTO OLEH ROBB KENDRICK
Sekarang bulan purnama, dan aku serta Lorena berjalan menyeberangi ladang gandum. Aku mengenakan rok dan bandana di rambutku, dengan niat ingin tampil santun, sementara Lorena, yang mengenakan celana korduroy yang sudah dikenakannya sepanjang hari, menatapku dengan pandangan kurang berkenan. “Penampilanmu gaya sekali,” katanya, lalu menarik nafas panjang. “OK.”

Dia masuk kembali ke dalam rumah dan ketika keluar lagi sudah mengenakan rok dan selendang—tetapi selendang itu dililitkan dan dipakai seperti bando dengan gaya anak muda, tidak ditalikan di bawah dagu seperti wanita berumur. Sambil berjalan bermandikan cahaya bulan menuju halaman gereja, di mana para sepupunya menabuh genderang dari kulit domba dan melakukan tarian ular-ularan, Lorena menendang kerikil keluar dari jalan dengan sepatu olahraganya. “Tapi, aku tidak memakai huarache,” katanya. “Terlalu banyak kerikil di bawah kakiku.”

Tidaklah mudah mencerna semua ini dengan arif, wanita berdarah campuran yang tengah bertarung mencari jati dirinya, dan seterusnya. Tetapi, ayah Lorena sudah berada di halaman gereja, meniup suling bambu khas Tarahumara dengan mata terpejam, sementara beberapa orang pria dengan wajah dihiasi cat menari-nari di sekitarnya dengan gerakan langkah menyamping. Ayah Lorena seorang pria bertubuh langsing, berkulit gelap, yang menjabat tanganku tanpa berkomentar apa pun saat aku tiba, menatapku tajam sejenak, lalu tiba-tiba bertanya, “Kamu sedang ada di mana ketika Menara Kembar di New York itu runtuh?” Setelah mendengar jawabanku (ada di rumah, di Kalifornia), dia mengangguk, menanyakan apakah Osama bin Laden sudah berhasil ditemukan, lalu kembali meniup sulingnya. Dia dan saudara kembarnya membantu menyelenggarakan upacara Semana Santa. Keduanya penghuni setia Guagüeyvo. Tidak demikian dengan Lorena, tidak lagi, karena untuk dirinya dan ketiga putranya yang masih kecil dia menginginkan hal-hal yang tidak tersedia di ngarai yang terpencil itu dan di sekolah dasar di situ yang kondisinya tidak memadai. Setelah mulai bekerja sebagai perawat, Lorena pernah pulang ke desanya selama lima tahun, ditempatkan di sebuah fasilitas medis kecil yang dibangun pemerintah di samping sekolah Guagüeyvo. Pemerintah menawarinya untuk terus bekerja di situ. Lorena memilih untuk tidak menerima tawaran itu. Dia sudah tidak lagi memiliki rok Rarámuri yang pas baginya.

“Aku memang wanita pribumi,” kata Lorena pada larut malam itu, ketika kami duduk-duduk dan mengobrol; kami berusaha membahas konsep jati diri, apa artinya menjadi anggota suatu masyarakat tertentu, dan betapa mudahnya hal itu membuat kita bingung: Di manakah kita menarik garis pemisah antara upaya untuk melestarikan masyarakat pribumi dan upaya yang memerangkap orang dalam konsep romantis tentang bagaimana seharusnya masyarakat tersebut? Lorena tidak tertarik pada rencana pengembangan Ngarai Tembaga; bukan pekerjaan membereskan kamar hotel yang diperlukan kaumnya, katanya, dan dia merasa risi saat melihat para penjaja cendera mata Rarámuri tampak serius dan penuh warna-warni ketika wisatawan memotret mereka. Tetapi, alasannya lebih bersifat praktis: Para penjaja itu tidak mendapatkan imbalan yang layak. Seharusnya mereka menuntut imbalan lebih banyak daripada yang saat ini mereka dapatkan. Dan anak-anak mereka seharusnya bersekolah. Dan mereka seharusnya tidak membesarkan anak-anak dalam masyarakat yang suka mabuk-mabukan.

!berak!
Sebuah lilin menyala di kamar belakang tempat aku dan Lorena tidur bersama dua dari ketiga putranya. Sudah lewat tengah malam. Kami masih bisa mendengar suara genderang. “Aku merasa begitu damai ketika datang ke sini,” bisik Lorena.

Kemudian dia berkata, tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta ulang tahun saat anakku berusia enam tahun. Akan kukatakan kepada kedua orang adik perempuanku bahwa aku ingin mereka hadir. Aku ingin mereka meninggalkan tempat ini. Mungkin hanya untuk beberapa hari saja. Aku ingin mereka melihat bagaimana rasanya tinggal di kota.” Yang dimaksudkannya adalah kedua adik perempuannya yang tidak menikah, keduanya sekolah ala kadarnya, tinggal di rumah keluarga. Adik yang lebih tua sudah punya tiga orang anak, tetapi ayah anak-anak itu punya keluarga lagi di Guagüeyvo. “Mereka juga bisa menjadi perawat dwibahasa, bekerja di klinik,” bisik Lorena. “Di sini mereka tidak punya masa depan.”

Judas dibakar pada hari Sabtu pagi. Beberapa tong bir jagung diseret ke ruang terbuka, acara minum-minum dimulai sejak subuh, dan pozole panas, yaitu semur jagung yang dibuat dengan domba yang disembelih dan kelinci hasil tangkapan para tokoh Pharisee yang ikut berpawai pada hari sebelumnya, disajikan dari beberapa tong raksasa di luar rumah yang berjarak satu ngarai di atas rumah Lorena. (“Aku bisa saja mengajakmu berjalan menyusuri jalan setapak siang hari ini ke rumah-rumah yang tak dapat kaulihat dari sini,” kata salah seorang sepupu Lorena dengan sopan, sambil menyodorkan sepiring pozole dan sekendi bir jagung, “hanya saja aku berencana untuk mabuk berat.”) Kemudian, semua orang berjalan dengan langkah berat menuju halaman gereja. Boneka orang-orangan diseret ke tempat terbuka, dipasangi topi bisbol hitam di kepalanya, dan enam orang pria mabuk menjatuhkan diri menimpanya, berteriak-teriak, menendang-nendang, menarik-narik anggota badannya. Akhirnya, seseorang membakar Judas, dan ketika sudah tidak ada lagi yang tersisa selain abu dan serpihan jerami hangus, para pria mabuk itu berdiri lagi dengan sempoyongan, dengan nafas terengah-engah.
Ada yang berteriak, “¿Ahora qué hacemos?”

Tiba-tiba Lorena tertawa terbahak-bahak. Dia menatapku. Diremasnya bahu anaknya yang berusia lima tahun sambil mengulangi teriakan itu, dengan suara nyaring.
 “¿Ahora qué hacemos?—Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”

sumber NG Indonesia
Artikel terkait

  • Yang Terasing part 1
  • Yang Terasing part 2
  • Yang Terasing part 3
  • Yang Terasing part 4
  • Yang Terasing part 5
  • Yang Terasing part 6
  • Yang Terasing part 7
  • Yang Terasing Lengkap
  • Menjaga Situs Pusaka Dunia
  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar