Hi ALL ,  welcome  |  MY SITE  |  PLEASE READ  |  THANK'S YOU ALL
Selamat datang di online learning, Ayo, terus belajar dan ilmu adalah teman yang paling baik. (kritik dan saran hubungi mhharismansur@gmail.com atau Hp. 081329653007)

Yang Terasing part 4

Written By mhharismansur on Rabu, 09 Januari 2013 | 15.55


Suku Tarahumara dari Meksiko berhasil menghindari para penakluk dari Spanyol pada abad ke-16. Namun, apakah mereka mampu menghadapi serangan kehidupan masyarakat modern?

OLEH CYNTHIA GORNEY
FOTO OLEH ROBB KENDRICK
Waktu itu adalah hari Kamis pada Semana Santa, atau Pekan Suci, hari-hari menjelang Paskah yang menandai waktu paling keramat pada tahun kalender Tarahumara. Para pendeta Jesuit lah yang pertama kali memperkenalkan agama Kristen kepada suku Tarahumara Sierra pada tahun 1600an, tetapi mereka dihalau seabad kemudian, ketika ketegangan politik memaksa bangsa Spanyol mengusir semua anggota Masyarakat Jesus dari Spanyol Baru, dan pada saat para Jesuit kembali pada tahun 1900, praktik keagamaan Tarahumara telah menjadi perpaduan antara dua kepercayaan yang secara taat dipatuhi, acara kebaktian Katolik yang berkombinasi dengan kepercayaan kuno, yang sekarang dipraktikkan di hampir seluruh wilayah Sierra Madre.

Ada beberapa hal yang terjadi di ngarai pada pekan Semana Santa yang pasti mencengangkan kebanyakan orang luar penganut Kristiani yang menyaksikannya untuk pertama kalinya—boneka Judas yang mencerminkan seks dan kekerasan yang mungkin meresahkan para pendatang baru karena merasa hal itu tidak layak disaksikan anak-anak; dan Pharisee, orang Yahudi saleh dari zaman biblikal, berperan penting dalam pawai yang menampilkan orang berlari, menabuh genderang, menari-nari, minum-minum, dan bertarung. Acara ini merupakan tontonan yang sangat memikat, kaum prianya kadang melukis wajah dan dada dengan corak bintik-bintik putih yang menakutkan, dan setiap musim semi, berbagai acara yang berlangsung selama sepekan itu berhasil menarik ribuan pengunjung ke Sierra. Namun, para pengunjung ini tidak datang ke Guagüeyvo, karena kota ini bahkan tidak tercantum pada sejumlah peta. Masyarakatnya tinggal menyebar di tempat-tempat hunian di seputar sebuah cekungan yang rimbun di tebing yang curam, dan di dapur keluarga Lorena kami duduk mengelilingi sebuah meja panjang di senja hari, menyantap tortila panas yang oleh ibu Lorena, Fidencia, terus-menerus diangkat dari tungku dan dituangkan ke piring plastik.

“Bagaimana tadi tariannya?” tanya Lorena.

“Tokoh utama Pharisee-nya jatuh dan kakinya patah,” jawab Fidencia.

Mereka menggunakan bahasa Spanyol, yang dipelajari Fidencia di sekolah dasar Rarámuri, yang jaraknya tujuh jam berjalan kaki dari gua tempatnya dilahirkan, pada masa sebelum dia menikah dengan ayah Lorena, Catarino Olivas Mancinas. Suaminya ini keturunan penambang, bukan keturunan Tarahumara yang sudah beberapa generasi tinggal di Sierra Madre. Rumahnya yang terus-menerus diperluas termasuk salah satu rumah paling bagus di Guagüeyvo: ada beberapa kamar tidur tambahan yang dilengkapi kasur untuk anak-anak yang sudah dewasa dan para cucu yang juga tinggal di situ, selain lantai beton, dan teras yang dihiasi sofa bekas jok mobil. Juga terdapat panel listrik tenaga surya berukuran kecil, yang mampu menyalakan dua lampu kuning yang berdengung setelah malam tiba. Jalan menuju Guagüeyvo akhirnya dibangun juga tiga tahun yang lalu, dan permukaannya yang dari tanah cukup lebar sehingga dapat dipasangi tiang listrik, meskipun tiang-tiang tersebut masih belum berfungsi. Fidencia mendengar kabar bahwa listrik akan segera mengalir. Apabila memang sudah ada listrik, Lorena akan memberinya lemari es.

Lemari es ini akan menghadirkan sesuatu yang luar biasa. Aku tahu persis akan seperti apa wujudnya kelak: hitam dan mengilap. Lemari es itu milik Lorena, dan saat ini masih ada di dapurnya di San Rafael, dan di kota itu terdapat beberapa jalan bata, dan hampir semua rumah memiliki aliran listrik dan jamban siram. Sudah setahun lamanya Lorena dan Fidencia tidak bertemu, dan meskipun pertemuan kembali di antara keduanya terasa canggung—Fidencia maju menghampiri putrinya sambil mengangguk dan menerima pelukan ringan—sang ibu sekarang berdiri di samping putrinya sambil keduanya memukul-mukul kepingan tortila sampai tipis dan melontarkannya ke tungku. Jagung untuk membuat tortila itu berasal dari panen musim lalu. Fidencia mengumpulkan biji jagung kering berwarna biru tadi pagi, merendamnya dalam air dari tangki penyimpan di luar, menggiling jagung itu melewati alat penggiling yang digerakkan tangan di teras, lalu menghaluskan hasil gilingan menjadi lempengan pada lempeng batu semacam cobek, lempeng batu yang dibawanya dari gua keluarga, sama seperti yang digunakan neneknya, dan yang juga pernah digunakan para leluhurnya. Kemudian, Fidencia keluar lagi, membawa masuk kayu bakar sebanyak yang bisa dibawa dalam pelukan tangannya, lalu menyalakan api di tungku besi.

Artikel terkait

  • Yang Terasing part 1
  • Yang Terasing part 2
  • Yang Terasing part 3
  • Yang Terasing part 4
  • Yang Terasing part 5
  • Yang Terasing part 6
  • Yang Terasing part 7
  • Yang Terasing Lengkap
  • Menjaga Situs Pusaka Dunia
  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar