Suku Tarahumara dari Meksiko berhasil menghindari para penakluk dari Spanyol pada abad ke-16. Namun, apakah mereka mampu menghadapi serangan kehidupan masyarakat modern?
OLEH CYNTHIA GORNEY
FOTO OLEH ROBB KENDRICK
FOTO OLEH ROBB KENDRICK
Tortila itu tebal dan rasanya lezat. Pagi itu Fidencia menarik seekor ayam dari kandang, menyembelihnya, membuang bulunya, memotong-motongnya dengan pisau, kemudian mencemplungkannya ke dalam panci, sehingga tercium aroma sup caldo, daging, dan sayuran yang mendidih perlahan. Dia mengenakan rok merah jambu bermotif bunga, atasan berwarna biru cerah, dan bandana yang ditalikan di bawah dagunya. Lengannya tampak sama kekarnya dengan lengan seorang atlet angkat berat. (“Kau tahu caraku menghilangkan perasaan lelah di tempat kerja?” Lorena bertanya padaku pada kesempatan lain. “Aku selalu berkata dalam hati, ibuku lebih lelah dariku.”)
Aku pernah mendengar komentar salah seorang penganut Jesuit yang mengatakan bahwa memperluas jaringan jalan yang dapat dilalui truk menyebabkan orang Tarahumara kehilangan stamina untuk berjalan dan berlari jarak jauh, dan sekarang, dengan mulut dipenuhi tortila dalam cahaya keemasan dari api tungku, kubayangkan aliran listrik di Guagüeyvo yang mendatangkan berbagai benda logam berkabel yang biasa digunakan kaum chabochi—alat penggiling yang dihidupkan cukup dengan menekan tombol, jam digital, alat pengering rambut, lemari es berwarna hitam itu, TV yang menayangkan telenovela di antara rentetan iklan maskara dan sabun cuci. Kutanyakan pada Fidencia bagaimana reaksinya jika ada orang membawa semua barang ini ke rumahnya. Dia berhenti memandang putrinya dengan agak lama dan berganti menatapku, dengan pandangan tajam namun tetap ramah, seakan-akan sedang berusaha memahami apakah mungkin aku sama bodohnya seperti penampilanku.
“Pasti akan sangat menyenangkan,” jawabnya.
Ketika aku menatap Lorena sekilas, dia berusaha, dengan menjunjung tinggi martabat Tarahumara, untuk tidak tertawa.
Pilihan atas Sierra Madre sebagai tempat yang strategis untuk menghindari bangsa Spanyol berabad-abad yang lalu ternyata merupakan berkah sekaligus beban bagi orang Tarahumara dewasa ini. Leluhur mereka bukan pengecut ataupun pencinta damai; sejarah mencatat adanya pemberontakan beringas yang dilakukan suku Tarahumara dalam kelompok yang tidak terlalu terkucil dan pusat-pusat pertambangan, di mana kaum penjajah menggunakan mereka sebagai buruh kasar seraya memaksa mereka menerima kehidupan desa bergaya Eropa. Tetapi, sebagai masyarakat, orang Tarahumara berhasil bertahan terutama karena, seperti yang dikatakan oleh seorang pendeta Sierra kepadaku, kemampuan mereka untuk menolak pengaruh asing—si pendeta menepukkan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu perlahan-lahan meluncurkan tangan kiri itu dari bawah, seperti ikan yang berhasil menggelincir melalui celah pada bebatuan.
Namun, geografi yang membuat tanah Tarahumara begitu sulit dijangkau para penakluk menyebabkannya menjadi incaran para penjarah yang terus berdatangan. Puncak bukit dan lembah ngarai mengandung perak dan berbagai mineral lain, yang menarik para penambang sejak abad ke-17. Hutan rimbanya menarik para pembalak, yang menebang pepohonan, dan akhirnya—di bawah kepemimpinan pertama seorang insinyur Amerika tahun 1800an—berhasil membangun jalan kereta api untuk mengangkut bahan baku yang ditemukan di daerah itu. Kerja pembangunan itu berlangsung selama hampir 80 tahun; jalur yang sudah rampung itu, yang berliku-liku melintasi Sierra Madre, dengan sejumlah jembatan tinggi dan terowongan, merupakan karya teknik yang mengagumkan. Dewasa ini, gelondongan kayu diangkut dengan truk (masih tetap dalam jumlah yang serampangan, demikian kata para pengecam pembalakan, meskipun mereka terus mengeluhkan kerusakan hutan), dan kereta api utama yang sekarang menggunakan jalur Sierra dinamakan Chihuahua Pacífico, atau yang lebih dikenal sebagai Chepe. Lafalnya cepe, dan tugas utamanya adalah memikat wisatawan.
Aku pernah mendengar komentar salah seorang penganut Jesuit yang mengatakan bahwa memperluas jaringan jalan yang dapat dilalui truk menyebabkan orang Tarahumara kehilangan stamina untuk berjalan dan berlari jarak jauh, dan sekarang, dengan mulut dipenuhi tortila dalam cahaya keemasan dari api tungku, kubayangkan aliran listrik di Guagüeyvo yang mendatangkan berbagai benda logam berkabel yang biasa digunakan kaum chabochi—alat penggiling yang dihidupkan cukup dengan menekan tombol, jam digital, alat pengering rambut, lemari es berwarna hitam itu, TV yang menayangkan telenovela di antara rentetan iklan maskara dan sabun cuci. Kutanyakan pada Fidencia bagaimana reaksinya jika ada orang membawa semua barang ini ke rumahnya. Dia berhenti memandang putrinya dengan agak lama dan berganti menatapku, dengan pandangan tajam namun tetap ramah, seakan-akan sedang berusaha memahami apakah mungkin aku sama bodohnya seperti penampilanku.
“Pasti akan sangat menyenangkan,” jawabnya.
Ketika aku menatap Lorena sekilas, dia berusaha, dengan menjunjung tinggi martabat Tarahumara, untuk tidak tertawa.
Pilihan atas Sierra Madre sebagai tempat yang strategis untuk menghindari bangsa Spanyol berabad-abad yang lalu ternyata merupakan berkah sekaligus beban bagi orang Tarahumara dewasa ini. Leluhur mereka bukan pengecut ataupun pencinta damai; sejarah mencatat adanya pemberontakan beringas yang dilakukan suku Tarahumara dalam kelompok yang tidak terlalu terkucil dan pusat-pusat pertambangan, di mana kaum penjajah menggunakan mereka sebagai buruh kasar seraya memaksa mereka menerima kehidupan desa bergaya Eropa. Tetapi, sebagai masyarakat, orang Tarahumara berhasil bertahan terutama karena, seperti yang dikatakan oleh seorang pendeta Sierra kepadaku, kemampuan mereka untuk menolak pengaruh asing—si pendeta menepukkan tangan kanannya ke tangan kirinya, lalu perlahan-lahan meluncurkan tangan kiri itu dari bawah, seperti ikan yang berhasil menggelincir melalui celah pada bebatuan.
Namun, geografi yang membuat tanah Tarahumara begitu sulit dijangkau para penakluk menyebabkannya menjadi incaran para penjarah yang terus berdatangan. Puncak bukit dan lembah ngarai mengandung perak dan berbagai mineral lain, yang menarik para penambang sejak abad ke-17. Hutan rimbanya menarik para pembalak, yang menebang pepohonan, dan akhirnya—di bawah kepemimpinan pertama seorang insinyur Amerika tahun 1800an—berhasil membangun jalan kereta api untuk mengangkut bahan baku yang ditemukan di daerah itu. Kerja pembangunan itu berlangsung selama hampir 80 tahun; jalur yang sudah rampung itu, yang berliku-liku melintasi Sierra Madre, dengan sejumlah jembatan tinggi dan terowongan, merupakan karya teknik yang mengagumkan. Dewasa ini, gelondongan kayu diangkut dengan truk (masih tetap dalam jumlah yang serampangan, demikian kata para pengecam pembalakan, meskipun mereka terus mengeluhkan kerusakan hutan), dan kereta api utama yang sekarang menggunakan jalur Sierra dinamakan Chihuahua Pacífico, atau yang lebih dikenal sebagai Chepe. Lafalnya cepe, dan tugas utamanya adalah memikat wisatawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar