Gua Harimau mengekalkan kompleks permakaman purba terpadat di Indonesia.
OLEH MAHANDIS Y.THAMRIN
FOTO OLEH REYNOLD SUMAYKU
FOTO OLEH REYNOLD SUMAYKU
Namun, Truman melihat dalam perkembangannya ternyata corak budaya Neolitik kian kentara. Tempat hunian mereka pun berpindah dari gua ke tempat terbuka sembari mendomestikasi hewan, bercocok tanam, dan membuat peralatan. Budaya mereka tadi meninggalkan peradaban terakhir masa prasejarah lantaran pada masa berikutnya mereka mendapat pengaruh logam, dan itu terus berlanjut.
Saya bertanya kepada Truman tentang fungsi Gua Harimau pada masa itu, apakah sebagai hunian atau permakaman. “Dua-duanya!” jawabnya singkat dan tegas.
Di Gua Harimau para Penutur Austronesia awal dapat bermukim nyaman lantaran ideal sebagai hunian prasejarah. Mereka juga membawa batu-batu dari sungai lalu memangkasnya menjadi alat kerja di dalam gua. Namun, pada masa yang sama, gua itu juga berfungsi sebagai permakaman apabila ada warga komunitas yang meninggal.
Pendapat Truman didukung bukti melimpahnya temuan alat-alat serpih, alat dari tulang, arang, bahkan serpihan tulang babi dan kerbau yang diduga sampah dapur penghuni gua itu. “Apakah itu semuanya bekal kubur?” dia balik bertanya kepada saya. “Berarti di situ ada kegiatan sehari-hari.”
“Hunian dan permakaman dalam satu gua itu hal yang umum,” ujarnya. Budaya seperti itu dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, kekhususan Gua Harimau dibandingkan gua-gua lain adalah permakaman yang berada di tengah aktivitas sehari-hari. “Yah, itu tidak masalah bagi mereka penghuni gua ini,” ungkapnya, “karena ruangan gua itu sangat luas.”
Truman juga menolak anggapan bahwa gua tersebut merupakan kuburan massal. “Saya menduga kuburan itu telah dipakai selama beribu tahun sejak 3.000 tahun lalu,” ujarnya berdasar temuan artefak.
Kirana sang rawi bangkit menghangatkan tebing-tebing karst Padangbindu. Pagi itu tim peneliti menuruni tangga kayu rumah panggung untuk bersiap memulai perjalanan kembali ke Gua Harimau.
Truman berjalan paling depan dengan topi rimba birunya, ransel, dan sepatu bot selutut warna zaitun keruh. Usai melewati perkampungan, kami menyusuri titian kayu bertali kawat baja sejauh hampir 50 meter yang selalu berayun apabila ada yang lewat. Di bawah, tampak warga tengah mandi dan mencuci baju di derasnya Sungai Ogan.
Ketika menanjak di kerindangan hutan, segerombolan monyet terkejut melihat kami, lalu jejeritan dan lintang-pukang di sela pepohonan hutan yang kian lebat. Tampak bentangan Bukit Karangsialang dengan tebing putih kontras yang digelayuti tanaman merambat. Seolah sebagai penanda bagi pendatang, di tebing putih itulah gua yang membekukan peradaban purba itu bersemayam. Terlihat begitu anggun!
!Break!
Kian siang, tonggeret serempak berdering nyaring mengiringi Fadlan S. Intan, ahli geologi dalam tim itu, yang tengah memeriksa temuan bebatuan dari ayakannya di serambi gua. Saya bertanya seputar kawasan karst di sini. Fadlan mengambil ranting lalu menggoreskannya di tanah. “Jadi kalau lihat di peta,” tunjuknya, “karst Baturaja ini hanya di tengah saja seperti lensa—elips.”
Berbeda dengan karst di Kalimantan dan Sulawesi yang jauh lebih luas. Dalam batuan karst Baturaja, kerap muncul bebatuan lain sehingga menghasilkan sumber batu untuk peralatan zaman itu. “Gua hunian di sini banyak, bisa dirangking seperti hotel,” ungkap Fadlan.
Selama lima tahun belakangan ini, dia telah menyurvei gua-gua perbukitan karst sekitar sini. Hasilnya, paling sedikit 38 gua dan ceruk yang umumnya berpotensi sebagai hunian prasejarah. “Menurut saya cukup padat,” ujarnya sambil mengalungkan kaca matanya. “Barangkali karena daerah ini tidak terlalu luas sehingga mereka memanfaatkan semua gua.”
Saya mengamati batuan hematit yang ditemukan Fadlan dalam ayakannya. Batuan ini diduga menjadi sarana para manusia prasejarah melukis di dinding gua. Terdapat sebelas panil gambar cadas prasejarah di gua ini. Semuanya merupakan panil-panil imaji gerigis yang terdiri atas gabungan garis-garis dan/atau titik-titik.
Pada 2010 Pindi Setiawan, selaku anggota tim Truman dari Pusat Penelitian Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, menyelisik temuan gambar cadas gua ini. “Di Bukit Karangsialang masih ada gua yang lebih luas dan lebih tinggi lokasinya,” ujarnya, “Namun Gua Harimau-lah yang termegah.”
Saya menjumpai Pindi di sebuah gerai kopi di Kembangan, Jakarta Barat. Lelaki itu telah berpengalaman meneliti gambar cadas yang tersebar di gua-gua seantero Tanah Air sejak lebih dari 15 tahun lalu. Rupanya, kegemaran Pindi dalam petualangan alam liar bersama Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri telah tersalurkan dalam serangkaian penjelajahan gua yang dilakoninya.
Sebagai temuan gambar cadas pertama di Sumatra, Pindi berharap gua ini dapat melengkapi sejarah ke-Nusantara-an. Dia mencoba menghubungkan antara gambar cadas dan aspek keruangan Gua Harimau terhadap lingkungan sekitar.
Menurutnya, gambar cadas merupakan imaji yang mengandung informasi tentang peristiwa penting bagi masyarakat penggambarnya—bukan aktivitas harian. Imaji dalam gua ini tampaknya terkait dengan suatu kejadian sakral pada masyarakat yang tidak lagi sekadar berburu-meramu, tetapi juga bertani, berhierarki sosial, dan telah mengenal hubungan pertukaran barang.
Saya bertanya kepada Truman tentang fungsi Gua Harimau pada masa itu, apakah sebagai hunian atau permakaman. “Dua-duanya!” jawabnya singkat dan tegas.
Di Gua Harimau para Penutur Austronesia awal dapat bermukim nyaman lantaran ideal sebagai hunian prasejarah. Mereka juga membawa batu-batu dari sungai lalu memangkasnya menjadi alat kerja di dalam gua. Namun, pada masa yang sama, gua itu juga berfungsi sebagai permakaman apabila ada warga komunitas yang meninggal.
Pendapat Truman didukung bukti melimpahnya temuan alat-alat serpih, alat dari tulang, arang, bahkan serpihan tulang babi dan kerbau yang diduga sampah dapur penghuni gua itu. “Apakah itu semuanya bekal kubur?” dia balik bertanya kepada saya. “Berarti di situ ada kegiatan sehari-hari.”
“Hunian dan permakaman dalam satu gua itu hal yang umum,” ujarnya. Budaya seperti itu dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, kekhususan Gua Harimau dibandingkan gua-gua lain adalah permakaman yang berada di tengah aktivitas sehari-hari. “Yah, itu tidak masalah bagi mereka penghuni gua ini,” ungkapnya, “karena ruangan gua itu sangat luas.”
Truman juga menolak anggapan bahwa gua tersebut merupakan kuburan massal. “Saya menduga kuburan itu telah dipakai selama beribu tahun sejak 3.000 tahun lalu,” ujarnya berdasar temuan artefak.
Kirana sang rawi bangkit menghangatkan tebing-tebing karst Padangbindu. Pagi itu tim peneliti menuruni tangga kayu rumah panggung untuk bersiap memulai perjalanan kembali ke Gua Harimau.
Truman berjalan paling depan dengan topi rimba birunya, ransel, dan sepatu bot selutut warna zaitun keruh. Usai melewati perkampungan, kami menyusuri titian kayu bertali kawat baja sejauh hampir 50 meter yang selalu berayun apabila ada yang lewat. Di bawah, tampak warga tengah mandi dan mencuci baju di derasnya Sungai Ogan.
Ketika menanjak di kerindangan hutan, segerombolan monyet terkejut melihat kami, lalu jejeritan dan lintang-pukang di sela pepohonan hutan yang kian lebat. Tampak bentangan Bukit Karangsialang dengan tebing putih kontras yang digelayuti tanaman merambat. Seolah sebagai penanda bagi pendatang, di tebing putih itulah gua yang membekukan peradaban purba itu bersemayam. Terlihat begitu anggun!
!Break!
Kian siang, tonggeret serempak berdering nyaring mengiringi Fadlan S. Intan, ahli geologi dalam tim itu, yang tengah memeriksa temuan bebatuan dari ayakannya di serambi gua. Saya bertanya seputar kawasan karst di sini. Fadlan mengambil ranting lalu menggoreskannya di tanah. “Jadi kalau lihat di peta,” tunjuknya, “karst Baturaja ini hanya di tengah saja seperti lensa—elips.”
Berbeda dengan karst di Kalimantan dan Sulawesi yang jauh lebih luas. Dalam batuan karst Baturaja, kerap muncul bebatuan lain sehingga menghasilkan sumber batu untuk peralatan zaman itu. “Gua hunian di sini banyak, bisa dirangking seperti hotel,” ungkap Fadlan.
Selama lima tahun belakangan ini, dia telah menyurvei gua-gua perbukitan karst sekitar sini. Hasilnya, paling sedikit 38 gua dan ceruk yang umumnya berpotensi sebagai hunian prasejarah. “Menurut saya cukup padat,” ujarnya sambil mengalungkan kaca matanya. “Barangkali karena daerah ini tidak terlalu luas sehingga mereka memanfaatkan semua gua.”
Saya mengamati batuan hematit yang ditemukan Fadlan dalam ayakannya. Batuan ini diduga menjadi sarana para manusia prasejarah melukis di dinding gua. Terdapat sebelas panil gambar cadas prasejarah di gua ini. Semuanya merupakan panil-panil imaji gerigis yang terdiri atas gabungan garis-garis dan/atau titik-titik.
Pada 2010 Pindi Setiawan, selaku anggota tim Truman dari Pusat Penelitian Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, menyelisik temuan gambar cadas gua ini. “Di Bukit Karangsialang masih ada gua yang lebih luas dan lebih tinggi lokasinya,” ujarnya, “Namun Gua Harimau-lah yang termegah.”
Saya menjumpai Pindi di sebuah gerai kopi di Kembangan, Jakarta Barat. Lelaki itu telah berpengalaman meneliti gambar cadas yang tersebar di gua-gua seantero Tanah Air sejak lebih dari 15 tahun lalu. Rupanya, kegemaran Pindi dalam petualangan alam liar bersama Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri telah tersalurkan dalam serangkaian penjelajahan gua yang dilakoninya.
Sebagai temuan gambar cadas pertama di Sumatra, Pindi berharap gua ini dapat melengkapi sejarah ke-Nusantara-an. Dia mencoba menghubungkan antara gambar cadas dan aspek keruangan Gua Harimau terhadap lingkungan sekitar.
Menurutnya, gambar cadas merupakan imaji yang mengandung informasi tentang peristiwa penting bagi masyarakat penggambarnya—bukan aktivitas harian. Imaji dalam gua ini tampaknya terkait dengan suatu kejadian sakral pada masyarakat yang tidak lagi sekadar berburu-meramu, tetapi juga bertani, berhierarki sosial, dan telah mengenal hubungan pertukaran barang.
sumber : NGI
Artikel yang berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar