Gua Harimau mengekalkan kompleks permakaman purba terpadat di Indonesia.
OLEH MAHANDIS Y.THAMRIN
FOTO OLEH REYNOLD SUMAYKU
FOTO OLEH REYNOLD SUMAYKU
Sambil duduk bersila dengan menyandarkan badan pada sebuah tiang kayu di ruang tengah, Truman menjelaskan kepada timnya bahwa terdapat dua lapisan budaya dalam kubur-kubur di gua ini. Di bagian atas terdapat lapisan paleometalik dengan indikasi temuan benda-benda logam, sedangkan lapisan bawahnya merupakan warisan budaya neolitik dengan banyaknya temuan alat serpih.
“Budaya neolitik merupakan budaya para Penutur Austronesia,” ungkapnya. “Mereka adalah leluhur kita yang barangkali penghuni awal kawasan ini.”
Hingga kini istilah Austronesia jarang digunakan dalam kajian-kajian arkeologi di Indonesia. Para ahli arkeologi umumnya menggunakan istilah “budaya Neolitik” ketimbang “budaya prasejarah Austronesia”. Meskipun sejatinya istilah Austronesia lebih terkait dengan asal-usul penuturnya.
Istilah Austronesia pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa asal Austria kelahiran Jerman, Wilhelm Schmidt pada 1899. Menurutnya, di kawasan Asia daratan pernah meruak bahasa Austrik yang dalam perkembangannya terbelah menjadi dua: Bahasa Austroasiatik yang tersebar di Mon-Khmer di Indocina dan Munda di India Selatan; sementara lainnya adalah bahasa Austronesia yang tersebar di Indonesia dan Pasifik. Dalam pemaparan Schimdt, mungkin leluhur Penutur Austronesia berpangkal dari Vietnam.
Menurut Truman, pada paruh kedua masa Pleistosen Atas, sekitar 60.000 tahun silam, manusia beranatomi modern telah mengawali migrasi ke Indonesia. Mereka kelak menjadi leluhur ras Australo-Melanesia sebagai penghuni awal kawasan ini. Ras tersebut pendukung budaya Preneolitik, berteknologi alat-alat serpih dan sisa fauna buruan.
Mereka menyebar sejak awal Holosen, sekitar 11.800 tahun silam. Ras ini juga mendiami gua-gua dengan gaya hidup berburu dan meramu, jauh sebelum para Penutur Austronesia bermukim ke Indonesia.
Penutur Austronesia mulai bermigrasi dan merambahi gua ini sekitar tiga milenium silam. Mereka membawa peradaban Neolitik dengan teknologi beliung persegi dan tembikar.
Ada kemungkinan komunitas itu melakukan perkawinan dengan ras Australo-Melanesia. Perkawinan yang dimaksud tidak hanya perkawinan pasangan lelaki dan perempuan—lalu beranak-pinak—tetapi juga dalam hal percampuran budaya Preneolitik dan Neolitik.
“Budaya neolitik merupakan budaya para Penutur Austronesia,” ungkapnya. “Mereka adalah leluhur kita yang barangkali penghuni awal kawasan ini.”
Hingga kini istilah Austronesia jarang digunakan dalam kajian-kajian arkeologi di Indonesia. Para ahli arkeologi umumnya menggunakan istilah “budaya Neolitik” ketimbang “budaya prasejarah Austronesia”. Meskipun sejatinya istilah Austronesia lebih terkait dengan asal-usul penuturnya.
Istilah Austronesia pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa asal Austria kelahiran Jerman, Wilhelm Schmidt pada 1899. Menurutnya, di kawasan Asia daratan pernah meruak bahasa Austrik yang dalam perkembangannya terbelah menjadi dua: Bahasa Austroasiatik yang tersebar di Mon-Khmer di Indocina dan Munda di India Selatan; sementara lainnya adalah bahasa Austronesia yang tersebar di Indonesia dan Pasifik. Dalam pemaparan Schimdt, mungkin leluhur Penutur Austronesia berpangkal dari Vietnam.
Menurut Truman, pada paruh kedua masa Pleistosen Atas, sekitar 60.000 tahun silam, manusia beranatomi modern telah mengawali migrasi ke Indonesia. Mereka kelak menjadi leluhur ras Australo-Melanesia sebagai penghuni awal kawasan ini. Ras tersebut pendukung budaya Preneolitik, berteknologi alat-alat serpih dan sisa fauna buruan.
Mereka menyebar sejak awal Holosen, sekitar 11.800 tahun silam. Ras ini juga mendiami gua-gua dengan gaya hidup berburu dan meramu, jauh sebelum para Penutur Austronesia bermukim ke Indonesia.
Penutur Austronesia mulai bermigrasi dan merambahi gua ini sekitar tiga milenium silam. Mereka membawa peradaban Neolitik dengan teknologi beliung persegi dan tembikar.
Ada kemungkinan komunitas itu melakukan perkawinan dengan ras Australo-Melanesia. Perkawinan yang dimaksud tidak hanya perkawinan pasangan lelaki dan perempuan—lalu beranak-pinak—tetapi juga dalam hal percampuran budaya Preneolitik dan Neolitik.
sumber : NGI
Artikel yang berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar