Anakku tertatih-tatih belajar agama, memahami tuhan, mempersepsi surga dan neraka. Di tengah kepolosannya ia pernah bertanya mengapa tuhan tak terlihat? Bisakah kita melihat tuhan? Ya, inilah sebuah pertanyaan yang bagi orang dewasa saja akan kesulitan menjawabnya. Apalagi bagi seorang anak kelas IV SD berusia delapan tahun.
Suatu waktu ia mengatakan bahwa ia tidak mau jadi anak nakal karena takut masuk neraka. Mungkin di sekolahnya, guru-gurunya menakut-nakuti dia tentang kejamnya siksa neraka atau dahsyatnya hukuman bagi orang-orang durhaka. Sungguh kasihan, sepertinya anakku hidup dalam ketakutan, tapi…semoga saja tidak.
Berbuat baik karena rasa takut sungguh bukanlah hal yang sehat secara psikologis. Di usianya yang masih kanak-kanak, nampaknya masih terlalu sulit untuk memahami hal-hal abstrak. Kita tahu, kemampuan berpikir anak-anak masih sangat sederhana, tentunya akan sangat berat untuk memahami hal-hal yang rumit, seperti pada konsep-konsep agama.
Pernah suatu ketika istriku mengatakan bahwa anakku sangat reaktif bila ada kejadian yang berbeda dengan agamanya; “Teteh kan muslim…,” begitu pernah ia katakan. Rasa keberagamaannya muncul terlalu awal, sehingga sudah merasa berbeda dari segi keyakinan dengan orang di sekitarnya.
Lain lagi suatu waktu saat dijemput pulang sekolah, begitu bertemu dia buru-buru bertanya, “Pak, apakah benar orang tua akan disiksa di akhirat jika membiarkan anaknya tidak menutup aurat?” dia mengatakan bahwa gurunya tadi di sekolah ada bercerita seperti itu. Wah kok begini ya…
Anakku memang bersekolah di sebuah sekolah agama. Secara umum, sekolah anakku ini pengelolaannya baik. Aku hanya menyoroti metode sekolah dalam mengenalkan konsep-konsep agama yang abstrak pada anak. Apakah metode yang dipilih sudah tepat jika belajar agama layaknya menjejalkan sebuah doktrin?
Walau akhirnya, …aku sendiri tidak menyalahkan, karena agama memang doktrin, dan doktrin memang harus dijejalkan.
Bagiku, sebenarnya pendidikan agama itu antara penting dan tidak penting. Aku lebih suka anak diberikan pelajaran budi pekerti saja, tidak langsung bersinggungan pemikiran dengan konsep-konsep agama yang cenderung sulit dipahami. Adapun pengenalan ritual ibadah itu juga baik sepanjang hanya sebagai pengenalan, bukan pewajiban.
Apalagi anak-anak belum bisa membedakan mana cerita fiksi mana non-fiksi. Kadang yang kita ketahui sebagai fiksi dianggapnya sebuah kenyataan, sebaliknya yang kita ketahui sebagai kejadian nyata diangggap sebagai dongeng seribu satu malam. Begitulah persepsi anak-anak.
Sekali lagi, sebenarnya pelajaran yang penting bagi anak seusia sekolah dasar adalah budi pekerti. Inilah yang harus ditanamkan lebih intensif. Sebab, agama pada dasarnya bukanlah mainan anak-anak, tapi mainan orang dewasa.
sumber : klik disini
Artikel yang berkaitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar