Anak adalah inspirasi hidup kita. Betapa tidak. Sejak masih dalam kandungan, kita sebagai orang tua sudah begitu mati-matian menjaga mereka, membesarkan mereka, dan itu tanpa kita tahu apakah mereka akan membalas semua pengorbanan kita ini. Kita tidak tahu apakah mereka akan mengingat kita ketika fisik kita sebagai manusia mulai lemah dan rapuh.
Pada dasarnya, harapan mendapat keuntungan dari keberadaan anak berawal dari anggapan bahwa anak adalah asset. Apa itu asset? Secara sederhana asset adalah segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Secara kasat mata kita bisa membedakannya dalam bentuk tangibleasset, yaitu asset yang bisa dilihat, dan intangibleasset, yaitu asset yang tidak bisa dilihat.
Biasanya kalau orang mengatakan tentang asset, yang dia maksudkan adalah tangible asset, seperti properti, tabungan, saham, ternak, emas, dan sebagainya, sedangkan intangible asset adalah ketrampilan, pengetahuan, atau ide yang tidak bisa diukur secara nyata nilainya. Jika kita memandang anak sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis, maka kita telah memperlakukan anak kita sebagai asset.
Contohnya, orang tua mengharapkan anaknya memberi keuntungan materi di kemudian hari, seperti mencukupi kebutuhan saat tua, dalam hal ini mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan saat orang tua sudah pensiun atau tidak produktif lagi. Begitulah, karena dianggap sebagai asset, lebih tepatnya intangible asset, maka ukurannya kesuksesan hidupnya adalah seberapa besar kemampuan si anak berkorban untuk orang tuanya.
Harus kita dudukan dulu bahwa merawat, membesarkan, dan mendidik anakan dalam sebuah keluarga adalah kewajiban setiap orang tua. Karena itu akan kurang tepat jika orang tua berharap anaknya balas budi dalam bentuk si anak merawatnya kembali saat si orang tua uzur. Menjadi lain tentunya jika hal tersebut atas niat baik dari si anak, tetapi pada dasarnya kurang tepat jika si orang tua yang memintanya.
Kewajiban kita sebagai spesies manusia beradab adalah menjaga keberlangsungan kita sebagai makhluk unggul di muka bumi. Kewajiban kita memelihara, membesarkan, dan mendidik mereka sekuat tenaga dengan tujuan melaksanakan kewajiban saya kita manusia berbudaya. Idealnya, kita tidak mengharapkan pamrih apapun, mengharap balas budi, atau mengharap kebaikan hati dari anak-anak kita.
Mendidik anak adalah kewajiban kita dalam rangka menyiapkan mereka mengembangkan diri, siap mandiri, dan selanjutnya mampu bertahan hidup (survive). Cara terbaik membuat mereka survive adalah dengan mempersiapkan masa depan mereka, membekali anak dengan keterampilan, membiasakan bekerja tekun dan disiplin, dan menanamkan percaya diri tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengintimidasinya.
Dengan paradigma berfikir seperti ini, jelas bahwa mendidik anak bukanlah agar mereka membalas budi baik orang tuanya. Mendidiklah sebagai bagian dari panggilan alamiah kehidupan. Karenanya, mendidiklah tanpa hitung-hitungan ekonomis, sebab anak bukanlah asset tetapi liabilitas orang tuanya.
***
Nah, bolehkah kita berharap balas budi dari anak? Tentu saja tidak salah kita mengharapkan balas budi atau kebaikan dari anak. Ini adalah keumuman masyarakat kita. Budaya luhur bangsa timur yang sudah turun-temurun ada dalam budaya nenek moyang kita. Tidak masalah kita melakukannya, asal jangan berlebihan.
Bagaimana sikap berlebihan? Misalnya, orang tua secara provokatif meminta anak membalas budi baik mereka saat mereka masih dalam pengasuhan orang tuanya.
Apalagi saat ini zaman cepat berubah, bisa jadi saat kita tua 40 tahun ke depan kebiasaan masyarakat pun telah berubah. Saat ini anak merawat orang tua adalah hal yang umum, tetapi 40 tahun ke depan bisa jadi hal tersebut sudah tak umum lagi. Jangan yakin dulu bahwa mereka akan berperilaku seperti saat ini kita bertanggung jawab merawat orang tua kita.
sumber : klik disini
Artikel yang berkaitanPada dasarnya, harapan mendapat keuntungan dari keberadaan anak berawal dari anggapan bahwa anak adalah asset. Apa itu asset? Secara sederhana asset adalah segala sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Secara kasat mata kita bisa membedakannya dalam bentuk tangibleasset, yaitu asset yang bisa dilihat, dan intangibleasset, yaitu asset yang tidak bisa dilihat.
Biasanya kalau orang mengatakan tentang asset, yang dia maksudkan adalah tangible asset, seperti properti, tabungan, saham, ternak, emas, dan sebagainya, sedangkan intangible asset adalah ketrampilan, pengetahuan, atau ide yang tidak bisa diukur secara nyata nilainya. Jika kita memandang anak sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis, maka kita telah memperlakukan anak kita sebagai asset.
Contohnya, orang tua mengharapkan anaknya memberi keuntungan materi di kemudian hari, seperti mencukupi kebutuhan saat tua, dalam hal ini mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan saat orang tua sudah pensiun atau tidak produktif lagi. Begitulah, karena dianggap sebagai asset, lebih tepatnya intangible asset, maka ukurannya kesuksesan hidupnya adalah seberapa besar kemampuan si anak berkorban untuk orang tuanya.
Harus kita dudukan dulu bahwa merawat, membesarkan, dan mendidik anakan dalam sebuah keluarga adalah kewajiban setiap orang tua. Karena itu akan kurang tepat jika orang tua berharap anaknya balas budi dalam bentuk si anak merawatnya kembali saat si orang tua uzur. Menjadi lain tentunya jika hal tersebut atas niat baik dari si anak, tetapi pada dasarnya kurang tepat jika si orang tua yang memintanya.
Kewajiban kita sebagai spesies manusia beradab adalah menjaga keberlangsungan kita sebagai makhluk unggul di muka bumi. Kewajiban kita memelihara, membesarkan, dan mendidik mereka sekuat tenaga dengan tujuan melaksanakan kewajiban saya kita manusia berbudaya. Idealnya, kita tidak mengharapkan pamrih apapun, mengharap balas budi, atau mengharap kebaikan hati dari anak-anak kita.
Mendidik anak adalah kewajiban kita dalam rangka menyiapkan mereka mengembangkan diri, siap mandiri, dan selanjutnya mampu bertahan hidup (survive). Cara terbaik membuat mereka survive adalah dengan mempersiapkan masa depan mereka, membekali anak dengan keterampilan, membiasakan bekerja tekun dan disiplin, dan menanamkan percaya diri tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengintimidasinya.
Dengan paradigma berfikir seperti ini, jelas bahwa mendidik anak bukanlah agar mereka membalas budi baik orang tuanya. Mendidiklah sebagai bagian dari panggilan alamiah kehidupan. Karenanya, mendidiklah tanpa hitung-hitungan ekonomis, sebab anak bukanlah asset tetapi liabilitas orang tuanya.
***
Nah, bolehkah kita berharap balas budi dari anak? Tentu saja tidak salah kita mengharapkan balas budi atau kebaikan dari anak. Ini adalah keumuman masyarakat kita. Budaya luhur bangsa timur yang sudah turun-temurun ada dalam budaya nenek moyang kita. Tidak masalah kita melakukannya, asal jangan berlebihan.
Bagaimana sikap berlebihan? Misalnya, orang tua secara provokatif meminta anak membalas budi baik mereka saat mereka masih dalam pengasuhan orang tuanya.
Apalagi saat ini zaman cepat berubah, bisa jadi saat kita tua 40 tahun ke depan kebiasaan masyarakat pun telah berubah. Saat ini anak merawat orang tua adalah hal yang umum, tetapi 40 tahun ke depan bisa jadi hal tersebut sudah tak umum lagi. Jangan yakin dulu bahwa mereka akan berperilaku seperti saat ini kita bertanggung jawab merawat orang tua kita.
sumber : klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar