Para ilmuwan tengah menggali potensi medis bisa.
OLEH JENNIFER S. HOLLAND
FOTO OLEH MATTIAS KLUM
FOTO OLEH MATTIAS KLUM
Obat berbahan dasar bisa bukanlah hal baru. Hal ini tercantum, misalnya, dalam teks Sanskerta dari abad kedua Masehi. Pada sekitar 67 SM, Mithradates VI dari Pontus, musuh Roma yang menggeluti toksikologi, diduga dua kali diselamatkan di medan perang oleh tabib yang mengobati lukanya dengan bisa bandotan stepa (Vipera ursinii).
Bisa kobra telah dipakai selama berabad-abad dalam pengobatan tradisional Tiongkok dan India, diperkenalkan ke Barat pada 1830-an sebagai obat nyeri homeopati. Pemanfaatan bisa menjadi obat secara ilmiah modern dimulai pada 1960-an, ketika seorang dokter Inggris bernama Hugh Alistair Reid menyatakan bahwa bisa ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dapat digunakan untuk mengobati trombosis vena-dalam.
Dia menemukan bahwa salah satu toksin ular tersebut, protein yang disebut ankrod, mengikat protein berserat dalam darah sehingga darah tidak dapat membeku. Arvin, obat penghilang gumpalan darah yang berasal dari bisa ular tanah, mulai dipakai di Eropa pada 1968. Kini Arvin telah digantikan oleh antikoagulan dari bisa ular lainnya.
Pada 1970-an, bisa beludak brasilia (Bothrops jararaca) memicu pengembangan kelompok obat yang disebut inhibitor ACE, sekarang banyak digunakan untuk mengobati darah tinggi. Para peneliti mengawalinya dengan mencari penyebab mengapa pekerja perkebunan pisang Brasilia yang digigit oleh ular ini anjlok tekanan darahnya.
Para peneliti kemudian menemukan komponen penurun tekanan darah dalam bisa ular tersebut. Komponen bisa yang bermanfaat harus dimodifikasi secara molekuler—ukurannya diubah dan disesuaikan agar dapat bertahan dalam sistem pencernaan manusia yang sangat asam.
Akhirnya versi sintetis tersedia untuk dicoba pada manusia, dan tahun 1975 obat telan pertama untuk darah tinggi, kaptopril, disetujui untuk digunakan. Obat kelompok inhibitor ACE yang dipelopori oleh kaptopril kini dipakai untuk mengobati puluhan juta orang di seluruh dunia, dengan total penjualan bernilai triliunan rupiah.
Karunia molekuler hewan berbisa memberi harapan untuk melawan berbagai penyakit. Pengidap penyakit jantung berutang budi pada mamba hijau (Dendroaspis angusticeps), ular pohon mematikan dari Afrika yang racunnya merusak saraf dan sirkulasi darah korbannya.
Para peneliti di Mayo Clinic menggabungkan peptida kunci dari bisa itu dengan peptida sel lapisan pembuluh darah manusia untuk membuat senderitida, yang kemudian diuji klinis. Fungsi obat ini bukan hanya untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi fibrosis (pertumbuhan jaringan ikat berlebih) pada pengidap gagal jantung, tetapi juga untuk melindungi ginjal dari kelebihan garam dan air.
Bisa kobra telah dipakai selama berabad-abad dalam pengobatan tradisional Tiongkok dan India, diperkenalkan ke Barat pada 1830-an sebagai obat nyeri homeopati. Pemanfaatan bisa menjadi obat secara ilmiah modern dimulai pada 1960-an, ketika seorang dokter Inggris bernama Hugh Alistair Reid menyatakan bahwa bisa ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dapat digunakan untuk mengobati trombosis vena-dalam.
Dia menemukan bahwa salah satu toksin ular tersebut, protein yang disebut ankrod, mengikat protein berserat dalam darah sehingga darah tidak dapat membeku. Arvin, obat penghilang gumpalan darah yang berasal dari bisa ular tanah, mulai dipakai di Eropa pada 1968. Kini Arvin telah digantikan oleh antikoagulan dari bisa ular lainnya.
Pada 1970-an, bisa beludak brasilia (Bothrops jararaca) memicu pengembangan kelompok obat yang disebut inhibitor ACE, sekarang banyak digunakan untuk mengobati darah tinggi. Para peneliti mengawalinya dengan mencari penyebab mengapa pekerja perkebunan pisang Brasilia yang digigit oleh ular ini anjlok tekanan darahnya.
Para peneliti kemudian menemukan komponen penurun tekanan darah dalam bisa ular tersebut. Komponen bisa yang bermanfaat harus dimodifikasi secara molekuler—ukurannya diubah dan disesuaikan agar dapat bertahan dalam sistem pencernaan manusia yang sangat asam.
Akhirnya versi sintetis tersedia untuk dicoba pada manusia, dan tahun 1975 obat telan pertama untuk darah tinggi, kaptopril, disetujui untuk digunakan. Obat kelompok inhibitor ACE yang dipelopori oleh kaptopril kini dipakai untuk mengobati puluhan juta orang di seluruh dunia, dengan total penjualan bernilai triliunan rupiah.
Karunia molekuler hewan berbisa memberi harapan untuk melawan berbagai penyakit. Pengidap penyakit jantung berutang budi pada mamba hijau (Dendroaspis angusticeps), ular pohon mematikan dari Afrika yang racunnya merusak saraf dan sirkulasi darah korbannya.
Para peneliti di Mayo Clinic menggabungkan peptida kunci dari bisa itu dengan peptida sel lapisan pembuluh darah manusia untuk membuat senderitida, yang kemudian diuji klinis. Fungsi obat ini bukan hanya untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi fibrosis (pertumbuhan jaringan ikat berlebih) pada pengidap gagal jantung, tetapi juga untuk melindungi ginjal dari kelebihan garam dan air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar