Para ilmuwan tengah menggali potensi medis bisa.
OLEH JENNIFER S. HOLLAND
FOTO OLEH MATTIAS KLUM
FOTO OLEH MATTIAS KLUM
Saya membantu memegang ekor sang ular yang kami telentangkan. Sambil memegang kepalanya, Takacs merentang ular tersebut, dan meraba tubuh sang ular mencari jantungnya. Setelah dia menemukannya—terasa berdenyut di balik kulit sekitar sepertiga tubuh dari kepala—dengan hati-hati Takacs menusukkan jarum dan menyedot darah.
Dia juga memotong sebagian jaringan ekor dan mengambil beberapa foto sebelum mengembalikan sang ular ke dalam air dan mengawasinya berenang menjauh. Takacs mengumpulkan data dari banyak ular dengan cara ini selama kami di sana.
Setiap kami berpapasan dengan perahu nelayan setempat, dia menghampiri mereka untuk bertanya tentang ular laut yang mereka lihat, berharap ada spesies lain di daerah itu. “Jika ada yang melihat ular dengan belang kuning hitam,” katanya, “tolong beri tahu saya.”
Saat kembali ke laboratorium, ia mengisolasi dan mengidentifikasi variasi susunan toksin antar-spesies, dalam satu spesies, dan bahkan dalam satu populasi. Dia juga meneliti apa yang membuat hewan kebal terhadap bisanya sendiri—informasi yang dapat membantu menghasilkan obat dari bisa yang lebih baik.
Saya kaget ternyata Takacs tidak mengambil racun dari ular welang laut. Dia menjelaskan bahwa DNA-lah yang menjadi dasar penelitiannya. Bisa memang menyimpan informasi penting, tetapi jika kita memiliki jaringannya, kata Takacs, “kita bisa membawanya pulang dan mengekstrak DNA hewan tersebut—termasuk sebagian besar toksinnya.”
Setiap toksin diekspresikan oleh satu gen, yang dapat diperbanyak dan dimanipulasi. “Kita dapat membuatnya dalam volume besar. Kita juga dapat memodifikasi toksin itu dengan cara yang kita inginkan, dan dengan cepat menyaring versi yang efeknya paling menjanjikan.”
Di University of Chicago, Takacs ikut menciptakan Designer Toxins, sistem yang memungkinkan peneliti memodifikasi berbagai bisa yang ada di alam dengan meramu beberapa toksin dan membandingkan daya pengobatannya.
Designer Toxins memanfaatkan hasil evolusi jutaan tahun yang terdapat di dalam bisa. Ini memungkinkan pembuatan banyak varian (lebih dari satu juta sejauh ini), berpotensi mengefisienkan upaya pengembangan obat. “Kami menambang keanekaragaman hayati molekuler yang ada di alam,” kata Takacs.
Dia juga memotong sebagian jaringan ekor dan mengambil beberapa foto sebelum mengembalikan sang ular ke dalam air dan mengawasinya berenang menjauh. Takacs mengumpulkan data dari banyak ular dengan cara ini selama kami di sana.
Setiap kami berpapasan dengan perahu nelayan setempat, dia menghampiri mereka untuk bertanya tentang ular laut yang mereka lihat, berharap ada spesies lain di daerah itu. “Jika ada yang melihat ular dengan belang kuning hitam,” katanya, “tolong beri tahu saya.”
Saat kembali ke laboratorium, ia mengisolasi dan mengidentifikasi variasi susunan toksin antar-spesies, dalam satu spesies, dan bahkan dalam satu populasi. Dia juga meneliti apa yang membuat hewan kebal terhadap bisanya sendiri—informasi yang dapat membantu menghasilkan obat dari bisa yang lebih baik.
Saya kaget ternyata Takacs tidak mengambil racun dari ular welang laut. Dia menjelaskan bahwa DNA-lah yang menjadi dasar penelitiannya. Bisa memang menyimpan informasi penting, tetapi jika kita memiliki jaringannya, kata Takacs, “kita bisa membawanya pulang dan mengekstrak DNA hewan tersebut—termasuk sebagian besar toksinnya.”
Setiap toksin diekspresikan oleh satu gen, yang dapat diperbanyak dan dimanipulasi. “Kita dapat membuatnya dalam volume besar. Kita juga dapat memodifikasi toksin itu dengan cara yang kita inginkan, dan dengan cepat menyaring versi yang efeknya paling menjanjikan.”
Di University of Chicago, Takacs ikut menciptakan Designer Toxins, sistem yang memungkinkan peneliti memodifikasi berbagai bisa yang ada di alam dengan meramu beberapa toksin dan membandingkan daya pengobatannya.
Designer Toxins memanfaatkan hasil evolusi jutaan tahun yang terdapat di dalam bisa. Ini memungkinkan pembuatan banyak varian (lebih dari satu juta sejauh ini), berpotensi mengefisienkan upaya pengembangan obat. “Kami menambang keanekaragaman hayati molekuler yang ada di alam,” kata Takacs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar