"Suara" dari bawah tanah memberi perenungan tentang makna kehidupan.
OLEH AA GILL
FOTO OLEH VINCENT J MUSI
FOTO OLEH VINCENT J MUSI
Saya berjalan melewati barisan jenazah dalam perasaan tak menentu yang janggal dari usaha memahami apa yang sesungguhnya saya rasakan. Di Barat kami jarang melihat tubuh tak bernyawa. Jasad orang mati biasanya diselubungi atau tersembunyi. Sementara jasad-jasad di tempat ini aneh dan mengandung misteri; mereka tampil dengan sikap dan kepribadian mereka di masa hidup. Dengan mengamati jenazah-jenazah yang punya daya tarik suram—jadi, seperti inilah kematian itu—saya menyadari bahwa perbedaan besar antara yang hidup dan yang mati adalah bahwa Anda dapat memelototi orang yang mati dengan keingintahuan yang lekat dan terus-menerus, sesuatu yang tak bakal bisa ditolerir orang yang masih hidup. Kemudian saya pikir, mereka semestinya memutar rekaman “Thriller” Michael Jackson sebagai musik latar, mengingat betapa artifisal dan mirip zombi yang menimbulkan efek seram murahan jasad-jasad ini terlihat, betapa menggelikan dan menyedihkan babak penutup yang hebat dari mimik alami tersebut, tidak sekadar seni, tetapi seni murahan. Rahang mereka menggantung terbuka dalam raungan sunyi, gerigi yang membusuk menyeringai penuh ancaman, rongga-rongga mata melotot suram, cabikan-cabikan kulit keras melekat pada pipi-pipi yang keriput dan ruas-ruas jari yang menderita radang sendi. Orang-orang ini kebanyakan kecil, lengan-lengan mereka bersilang seiring tubuh-tubuh mereka yang ditopang kabel dan paku terkulai, kepala-kepala mereka menyandar di bahu, tubuh-tubuh itu perlahan roboh dalam upaya mereka meniru kehidupan masa lalu mereka.
Koridor-koridor itu dipisahkan bagi golongan rohaniawan dan bagi para profesional, artinya para dokter, pengacara, dan sepasang carbinieri (polisi) yang tampilan seragamnya bagai tentara dalam panggung ketoprak. Terdapat koridor kaum perempuan di mana pemandu menginformasikan bahwa kita dapat mengagumi busana-busana masa lalu. Kerangka-kerangka tersebut berdiri dalam kain rombeng yang sobek-sobek, kotor, dengan kelabu gelap yang memudar. Ada sedikit yang dikagumi. Kapel di bagian sisi dipersembahkan bagi mereka yang meninggal dalam kondisi perawan, sangatlah memedihkan dan oleh tatakrama kontemporer adalah sebuah sebutan kasar yang menyedihkan untuk dibawa ke alam baka. Ketika mereka memasuki katakomba, mereka haruslah tampil sebagai simbol kemurnian di antara yang membusuk.
Selanjutnya, ada kapel kecil untuk bayi. Anak-anak mengenakan busana pesta, disangga tegak seperti boneka mayat hidup. Satu anak duduk di kursi balita dengan dengan kerangka kecil di pangkuannya, barangkali adiknya, menyedihkan tak terkira sekaligus keganjilan yang lucu.
Katakomba ini tidak seperti katakomba-katakomba di Roma yang merupakan galian arkeologi dari kuburan. Di sini, jasad selalu dimaksudkan untuk dilihat dan mereka yang di Ordo Kapusin membebanimu dengan sedikit biaya untuk kesenangan tersebut. Terdapat sejumlah plang yang mengingatkan Anda untuk bersikap hormat dan tidak mengambil foto. Meski begitu, mereka menjual foto-foto. Tidaklah jelas apakah hal ini merupakan pengalaman religius atau budaya, tetapi ini adalah daya tarik wisata.
Mumi pertama dan tertua adalah seorang rahib. Silvestro da Gubbio, berdiri di dalam ceruknya sejak 1599 (kata “mumi” berasal dari bahasa Arab untuk bitumen yang mirip damar hitam yang digunakan bangsa Mesir kuno sebagai bahan pengawet). Kebanyakan jasad berasal dari abad ke-19. Ketika dimulai, mereka hanya terdiri atas rahib dan pastur biara tersebut. Seiring berlalunya waktu, para rohaniawan ditemani oleh para dermawan, orang terpandang, dan bangsawan. Tak seorang pun tahu pasti apa yang mengawali pemumian tersebut; mungkin secara kebetulan ditemukan bahwa jasad yang ditinggalkan di ruang bawah tanah dalam udara dengan kedinginan tertentu dan batu-batu gamping berpori, kenyataannya akan mengering dari pada membusuk. Alhasil, sebuah sistem ditemukan. Orang yang baru meninggal dibaringkan di dalam kamar yang disebut saringan, di bilah tanah liat di atas salurann air, tempat cairan tubuh mereka dapat merembes dan jasad mengering perlahan seperti prosciutto (daging babi kering berbumbu ala Italia). Setelah delapan bulan hingga setahun, tubuh-tubuh itu dicuci dengan cuka, pakaian terbaik mereka dikenakan kembali dan ditempatkan entah di peti mati atau digantung di dinding.
Koridor-koridor itu dipisahkan bagi golongan rohaniawan dan bagi para profesional, artinya para dokter, pengacara, dan sepasang carbinieri (polisi) yang tampilan seragamnya bagai tentara dalam panggung ketoprak. Terdapat koridor kaum perempuan di mana pemandu menginformasikan bahwa kita dapat mengagumi busana-busana masa lalu. Kerangka-kerangka tersebut berdiri dalam kain rombeng yang sobek-sobek, kotor, dengan kelabu gelap yang memudar. Ada sedikit yang dikagumi. Kapel di bagian sisi dipersembahkan bagi mereka yang meninggal dalam kondisi perawan, sangatlah memedihkan dan oleh tatakrama kontemporer adalah sebuah sebutan kasar yang menyedihkan untuk dibawa ke alam baka. Ketika mereka memasuki katakomba, mereka haruslah tampil sebagai simbol kemurnian di antara yang membusuk.
Selanjutnya, ada kapel kecil untuk bayi. Anak-anak mengenakan busana pesta, disangga tegak seperti boneka mayat hidup. Satu anak duduk di kursi balita dengan dengan kerangka kecil di pangkuannya, barangkali adiknya, menyedihkan tak terkira sekaligus keganjilan yang lucu.
Katakomba ini tidak seperti katakomba-katakomba di Roma yang merupakan galian arkeologi dari kuburan. Di sini, jasad selalu dimaksudkan untuk dilihat dan mereka yang di Ordo Kapusin membebanimu dengan sedikit biaya untuk kesenangan tersebut. Terdapat sejumlah plang yang mengingatkan Anda untuk bersikap hormat dan tidak mengambil foto. Meski begitu, mereka menjual foto-foto. Tidaklah jelas apakah hal ini merupakan pengalaman religius atau budaya, tetapi ini adalah daya tarik wisata.
Mumi pertama dan tertua adalah seorang rahib. Silvestro da Gubbio, berdiri di dalam ceruknya sejak 1599 (kata “mumi” berasal dari bahasa Arab untuk bitumen yang mirip damar hitam yang digunakan bangsa Mesir kuno sebagai bahan pengawet). Kebanyakan jasad berasal dari abad ke-19. Ketika dimulai, mereka hanya terdiri atas rahib dan pastur biara tersebut. Seiring berlalunya waktu, para rohaniawan ditemani oleh para dermawan, orang terpandang, dan bangsawan. Tak seorang pun tahu pasti apa yang mengawali pemumian tersebut; mungkin secara kebetulan ditemukan bahwa jasad yang ditinggalkan di ruang bawah tanah dalam udara dengan kedinginan tertentu dan batu-batu gamping berpori, kenyataannya akan mengering dari pada membusuk. Alhasil, sebuah sistem ditemukan. Orang yang baru meninggal dibaringkan di dalam kamar yang disebut saringan, di bilah tanah liat di atas salurann air, tempat cairan tubuh mereka dapat merembes dan jasad mengering perlahan seperti prosciutto (daging babi kering berbumbu ala Italia). Setelah delapan bulan hingga setahun, tubuh-tubuh itu dicuci dengan cuka, pakaian terbaik mereka dikenakan kembali dan ditempatkan entah di peti mati atau digantung di dinding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar