Tembakau berjalin kelindan dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
OLEH PUTHUT E.A.
FOTO OLEH HAFIDZ NOVALSYAH
FOTO OLEH HAFIDZ NOVALSYAH
Dukuh adalah saingan Lamuk. Kedua tempat tersebut merupakan penghasil srintil. Sejak kecil, Agus sudah jatuh cinta kepada tembakau. Bahkan, ketika masih duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah rela berjalan jauh ke kota Temanggung yang kira-kira berjarak 15 kilometer dari desanya.
Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil, keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.
Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.
“Petani itu punya tiga pegangan menanam tembakau yang merupakan warisan pengetahuan nenek-moyang: siti (tanah), wiji (benih), wanci (cuaca atau waktu). Untuk yang pertama dan kedua, kita sebagai petani harus bisa mengusahakan yang maksimal,” papar Agus. “Tapi soal wanci, kita bergantung kepada Tuhan.”
Agus lalu mencontohkan panen kali ini. Saat tembakau masih butuh guyuran hujan, ternyata hujan sudah tidak turun. Dan saat tembakau sudah tumbuh besar, angin bertiup lebat. “Akibatnya, akar tembakau menjadi stres dan daun tembakau menjadi kempes, tidak padat berisi sehingga kualitasnya kurang. Tapi siapa yang bisa mengusir angin?”
Keesokan harinya, saya diajak Agus keliling desa untuk melihat bagaimana tembakau diperam, dirajang, dan dijemur. Setelah itu, ia meminta beberapa warganya untuk mengantar saya di daerah tembakau yang cukup tinggi. Ia tidak bisa ikut karena di siang hari banyak petani yang menyetor hasil panen mereka ke rumahnya.
Kami naik mobil bak terbuka, menyusuri jalan menanjak tak beraspal. Di mana mata saya memandang, yang ada hanyalah daun-daun tembakau yang berkilau diterpa panas matahari yang menyengat. “Di saat musim seperti ini, rumput pun mati. Hanya tembakau yang bisa hidup.” teriak seorang petani yang berada di balik kemudi, melawan deru mesin dan suara ban yang menggilas tanah bebatuan.
Mobil berhenti tepat di ketinggian 1.450 mdpl. Puncak Gunung Sumbing terlihat jelas. Banyak orang menyebut Dukuh dan Lamuk sebagai Negeri di Atas Awan. Karena ketika cuaca mendukung, dari kedua dusun tersebut bisa terlihat jajaran awan di bawah.
Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil, keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.
Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.
“Petani itu punya tiga pegangan menanam tembakau yang merupakan warisan pengetahuan nenek-moyang: siti (tanah), wiji (benih), wanci (cuaca atau waktu). Untuk yang pertama dan kedua, kita sebagai petani harus bisa mengusahakan yang maksimal,” papar Agus. “Tapi soal wanci, kita bergantung kepada Tuhan.”
Agus lalu mencontohkan panen kali ini. Saat tembakau masih butuh guyuran hujan, ternyata hujan sudah tidak turun. Dan saat tembakau sudah tumbuh besar, angin bertiup lebat. “Akibatnya, akar tembakau menjadi stres dan daun tembakau menjadi kempes, tidak padat berisi sehingga kualitasnya kurang. Tapi siapa yang bisa mengusir angin?”
Keesokan harinya, saya diajak Agus keliling desa untuk melihat bagaimana tembakau diperam, dirajang, dan dijemur. Setelah itu, ia meminta beberapa warganya untuk mengantar saya di daerah tembakau yang cukup tinggi. Ia tidak bisa ikut karena di siang hari banyak petani yang menyetor hasil panen mereka ke rumahnya.
Kami naik mobil bak terbuka, menyusuri jalan menanjak tak beraspal. Di mana mata saya memandang, yang ada hanyalah daun-daun tembakau yang berkilau diterpa panas matahari yang menyengat. “Di saat musim seperti ini, rumput pun mati. Hanya tembakau yang bisa hidup.” teriak seorang petani yang berada di balik kemudi, melawan deru mesin dan suara ban yang menggilas tanah bebatuan.
Mobil berhenti tepat di ketinggian 1.450 mdpl. Puncak Gunung Sumbing terlihat jelas. Banyak orang menyebut Dukuh dan Lamuk sebagai Negeri di Atas Awan. Karena ketika cuaca mendukung, dari kedua dusun tersebut bisa terlihat jajaran awan di bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar