
Tembakau berjalin kelindan dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
OLEH PUTHUT E.A.
FOTO OLEH HAFIDZ NOVALSYAH
FOTO OLEH HAFIDZ NOVALSYAH
Sebetulnya orangtua Hong Djien yang lebih terdidik menginginkan anak-anaknya bekerja di bidang yang lain. Kakak tertua Hong Djien berprofesi sebagai dokter gigi, bahkan menjadi dokter gigi Soekarno. Hong Djien sendiri kemudian masuk kedokteran dengan spesialis bedah anatomi, sementara adiknya kuliah di Fakultas Hukum.
Pada 1968, saat ia berada di Belanda untuk melanjutkan kuliah, bapaknya meninggal dunia. Terpaksa Hong Djien pulang. Waktu itu bulan Juni, saat mendekati panen tembakau. Kakak dan adiknya tidak mungkin mengambil alih bisnis tersebut. Terpaksa Hong Djien yang memikul amanah untuk mengurus bisnis keluarga itu.
“Waktu itu petani-petani sudah mulai banyak yang berdatangan untuk menyetor tembakau. Padahal saya sama sekali tidak menguasai bisnis itu. Akhirnya mau tidak mau saya belajar tentang bisnis tembakau, termasuk meng-grade tembakau. Akhirnya keterusan sampai sekarang.”
Sejak muda, Hong Djien tidak bisa lepas dari lukisan. Awalnya karena di tembok rumah orangtuanya banyak lukisan, kebanyakan lukisan orang Belanda. “Ketika saya kuliah di Jakarta, saya pun mulai terbiasa mengunjungi pameran-pameran lukisan. Dan, ketika saya berada di Belanda, saya mulai membeli, walaupun sebatas membeli sketsa-sketsa.”
Begitu mulai punya uang yang cukup karena meneruskan bisnis tembakau ayahnya, ia mulai membeli lukisan-lukisan seperti Affandi, Sudjojono, Widayat, Nasar, Nyoman Gunarsa, Ivan Sagita, dan banyak yang lain. Di kalangan perupa Yogyakarta, Hong Djien punya tempat tersendiri yang susah digantikan.
Saat iklim seni rupa belum sebagus sekarang, Hong Djien sudah sering membeli karya para perupa muda, terutama dari Yogyakarta. Bagi mereka, karya mereka yang dikoleksi Hong Djien merupakan kebanggaan tersendiri.
Kini, di umurnya yang sudah sepuh, Hong Djien masih sering didaulat bicara di berbagai forum seni rupa penting, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia juga menjadi semacam penasihat bagi berbagai peristiwa seni rupa di tanah air.
Untuk menunjukkan kecintaannya pada dunia seni rupa, sosok yang mengoleksi lebih dari 2.000 karya seni rupa ini pun membuat sebuah museum seni rupa. Museum itu diresmikan pada tanggal 5 April 2012, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-73.
Pada 1968, saat ia berada di Belanda untuk melanjutkan kuliah, bapaknya meninggal dunia. Terpaksa Hong Djien pulang. Waktu itu bulan Juni, saat mendekati panen tembakau. Kakak dan adiknya tidak mungkin mengambil alih bisnis tersebut. Terpaksa Hong Djien yang memikul amanah untuk mengurus bisnis keluarga itu.
“Waktu itu petani-petani sudah mulai banyak yang berdatangan untuk menyetor tembakau. Padahal saya sama sekali tidak menguasai bisnis itu. Akhirnya mau tidak mau saya belajar tentang bisnis tembakau, termasuk meng-grade tembakau. Akhirnya keterusan sampai sekarang.”
Sejak muda, Hong Djien tidak bisa lepas dari lukisan. Awalnya karena di tembok rumah orangtuanya banyak lukisan, kebanyakan lukisan orang Belanda. “Ketika saya kuliah di Jakarta, saya pun mulai terbiasa mengunjungi pameran-pameran lukisan. Dan, ketika saya berada di Belanda, saya mulai membeli, walaupun sebatas membeli sketsa-sketsa.”
Begitu mulai punya uang yang cukup karena meneruskan bisnis tembakau ayahnya, ia mulai membeli lukisan-lukisan seperti Affandi, Sudjojono, Widayat, Nasar, Nyoman Gunarsa, Ivan Sagita, dan banyak yang lain. Di kalangan perupa Yogyakarta, Hong Djien punya tempat tersendiri yang susah digantikan.
Saat iklim seni rupa belum sebagus sekarang, Hong Djien sudah sering membeli karya para perupa muda, terutama dari Yogyakarta. Bagi mereka, karya mereka yang dikoleksi Hong Djien merupakan kebanggaan tersendiri.
Kini, di umurnya yang sudah sepuh, Hong Djien masih sering didaulat bicara di berbagai forum seni rupa penting, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia juga menjadi semacam penasihat bagi berbagai peristiwa seni rupa di tanah air.
Untuk menunjukkan kecintaannya pada dunia seni rupa, sosok yang mengoleksi lebih dari 2.000 karya seni rupa ini pun membuat sebuah museum seni rupa. Museum itu diresmikan pada tanggal 5 April 2012, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-73.
sumber : National Geographic Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar