Bapak evolusi tentu tergetar melihat ilmu pengetahuan yang terilhami oleh teorinya.
OLEH MATT RIDLEY
FOTO OLEH LYNN JOHNSON
FOTO OLEH LYNN JOHNSON
Constance Scharff dari Freie Universität Berlin kemudian menemukan bahwa gen yang sama lebih aktif di satu bagian otak pipit zebra muda, persis ketika burung itu belajar berkicau. Dengan kecerdikan yang agak sadis, timnya menginfeksi otak burung pipit dengan virus khusus berisi salinan terbalik sebagian gen FOXP2 yang meredam ekspresi alami gen itu. Hasilnya adalah burung-burung itu bukan saja berkicau lebih menyimpang daripada biasanya, tapi juga tidak bisa meniru kicau burung dewasa dengan tepat—mirip anak manusia yang memiliki gen FOXP2 mutan yang bicaranya lebih kacau dan tidak bisa meniru dengan tepat.
Para Darwin masa kini melihat secara detail bagaimana tekanan seperti persaingan dan perubahan lingkungan dapat membentuk spesies baru. Namun, Darwin juga mengusulkan penggerak evolusi yang lain: seleksi seksual. Di Danau Victoria, penglihatan ikan mujair beradaptasi dengan cahaya di lingkungan sekitar—di tempat yang lebih dalam, di mana cahaya yang tersedia mendekati ujung merah spektrum, reseptor visualnya terbiaskan ke warna merah, sementara semakin dekat permukaan, ikan melihat lebih baik warna biru. Ole Seehausen dari Universität Bern dan Eawag (Institut Federal Ilmu dan Teknologi Akuatik Swiss) menemukan bahwa mujair jantan berevolusi mengembangkan warna-warni yang mencolok untuk menarik perhatian betina: biasanya merah di dekat dasar danau dan biru di tempat yang lebih dangkal. Populasi biru dan merah tampaknya sedang bercabang dalam garis genetika—menyiratkan bahwa keduanya mewakili dua spesies yang tengah berpisah.
Jika seleksi alam adalah "survival of the fittest" (yang paling cocok yang selamat, frasa yang diciptakan oleh filsuf Herbert Spencer, bukan oleh Darwin), maka seleksi seksual adalah yang paling seksi yang bereproduksi. Hal ini membawa efek menarik dalam pembuatan senjata, ornamen, nyanyian, dan warna, terutama pada satwa jantan. Darwin percaya bahwa beberapa ornamen seperti tanduk rusa membantu jantan bertarung memperebutkan betina; sementara yang lainnya seperti ekor merak membantu jantan “memukau” (istilah Darwin) betina agar mau kawin. Sebetulnya, ide itu lahir dari pikiran yang buntu karena Darwin cemas bahwa keindahan yang tanpa guna menjadi pengecualian mencolok bagi cara kerja seleksi alam yang kejam tanpa ampun. Dia menyurati ahli botani Amerika Asa Gray pada April 1860, “Setiap melihat bulu ekor merak, saya merasa mual!”
Konsep Darwin tentang seleksi seksual diabaikan dengan sopan oleh sebagian besar pemikiran zaman Victoria yang merasa tidaklah pantas berpikir bahwa perempuan secara aktif memilih pasangan, alih-alih menerima dengan malu-malu pendekatan lelaki. Bahkan ahli biologi membuang gagasan itu selama kira-kira seabad karena terobsesi dengan pendapat bahwa sifat bawaan berevolusi demi manfaat spesies, bukan individu. Namun, kini kita tahu bahwa Darwin selama ini benar. Pada berbagai spesies, dari ikan dan burung hingga serangga dan katak, betina mendekati jantan yang paling bergaya dan mengajak jantan tersebut kawin.
Darwin tidak banyak membahas tentang mengapa betina memilih jantan yang paling berhias. Ini menjadi pertanyaan yang masih menarik bagi para ahli biologi karena mereka punya dua jawaban yang sama baiknya. Pertama karena kebiasaan semata: ketika betina memilih jantan yang tampan, betina lain harus melakukan yang sama atau terancam punya anak yang tidak menarik bagi betina. Jawaban lainnya lebih subtil. Menumbuhkan ekor itu melelahkan dan berbahaya bagi merak. Ini hanya dapat dilakukan dengan baik oleh jantan yang paling sehat: parasit, kelaparan, dan perawatan yang sembrono akan menghasilkan bulu yang lebih kusam. Jadi, bulu yang cemerlang adalah apa yang disebut para ahli biologi sebagai “indikator kebugaran yang jujur.” Merak yang tak memenuhi standar tidak bisa meniru keindahannya. Dengan demikian, merak betina yang secara naluriah memilih jantan terbaik, tanpa sadar mewariskan gen terbaik kepada anak-anaknya.
Para Darwin masa kini melihat secara detail bagaimana tekanan seperti persaingan dan perubahan lingkungan dapat membentuk spesies baru. Namun, Darwin juga mengusulkan penggerak evolusi yang lain: seleksi seksual. Di Danau Victoria, penglihatan ikan mujair beradaptasi dengan cahaya di lingkungan sekitar—di tempat yang lebih dalam, di mana cahaya yang tersedia mendekati ujung merah spektrum, reseptor visualnya terbiaskan ke warna merah, sementara semakin dekat permukaan, ikan melihat lebih baik warna biru. Ole Seehausen dari Universität Bern dan Eawag (Institut Federal Ilmu dan Teknologi Akuatik Swiss) menemukan bahwa mujair jantan berevolusi mengembangkan warna-warni yang mencolok untuk menarik perhatian betina: biasanya merah di dekat dasar danau dan biru di tempat yang lebih dangkal. Populasi biru dan merah tampaknya sedang bercabang dalam garis genetika—menyiratkan bahwa keduanya mewakili dua spesies yang tengah berpisah.
Jika seleksi alam adalah "survival of the fittest" (yang paling cocok yang selamat, frasa yang diciptakan oleh filsuf Herbert Spencer, bukan oleh Darwin), maka seleksi seksual adalah yang paling seksi yang bereproduksi. Hal ini membawa efek menarik dalam pembuatan senjata, ornamen, nyanyian, dan warna, terutama pada satwa jantan. Darwin percaya bahwa beberapa ornamen seperti tanduk rusa membantu jantan bertarung memperebutkan betina; sementara yang lainnya seperti ekor merak membantu jantan “memukau” (istilah Darwin) betina agar mau kawin. Sebetulnya, ide itu lahir dari pikiran yang buntu karena Darwin cemas bahwa keindahan yang tanpa guna menjadi pengecualian mencolok bagi cara kerja seleksi alam yang kejam tanpa ampun. Dia menyurati ahli botani Amerika Asa Gray pada April 1860, “Setiap melihat bulu ekor merak, saya merasa mual!”
Konsep Darwin tentang seleksi seksual diabaikan dengan sopan oleh sebagian besar pemikiran zaman Victoria yang merasa tidaklah pantas berpikir bahwa perempuan secara aktif memilih pasangan, alih-alih menerima dengan malu-malu pendekatan lelaki. Bahkan ahli biologi membuang gagasan itu selama kira-kira seabad karena terobsesi dengan pendapat bahwa sifat bawaan berevolusi demi manfaat spesies, bukan individu. Namun, kini kita tahu bahwa Darwin selama ini benar. Pada berbagai spesies, dari ikan dan burung hingga serangga dan katak, betina mendekati jantan yang paling bergaya dan mengajak jantan tersebut kawin.
Darwin tidak banyak membahas tentang mengapa betina memilih jantan yang paling berhias. Ini menjadi pertanyaan yang masih menarik bagi para ahli biologi karena mereka punya dua jawaban yang sama baiknya. Pertama karena kebiasaan semata: ketika betina memilih jantan yang tampan, betina lain harus melakukan yang sama atau terancam punya anak yang tidak menarik bagi betina. Jawaban lainnya lebih subtil. Menumbuhkan ekor itu melelahkan dan berbahaya bagi merak. Ini hanya dapat dilakukan dengan baik oleh jantan yang paling sehat: parasit, kelaparan, dan perawatan yang sembrono akan menghasilkan bulu yang lebih kusam. Jadi, bulu yang cemerlang adalah apa yang disebut para ahli biologi sebagai “indikator kebugaran yang jujur.” Merak yang tak memenuhi standar tidak bisa meniru keindahannya. Dengan demikian, merak betina yang secara naluriah memilih jantan terbaik, tanpa sadar mewariskan gen terbaik kepada anak-anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar