Hi ALL ,  welcome  |  MY SITE  |  PLEASE READ  |  THANK'S YOU ALL
Selamat datang di online learning, Ayo, terus belajar dan ilmu adalah teman yang paling baik. (kritik dan saran hubungi mhharismansur@gmail.com atau Hp. 081329653007)

Darwin Modern part 3

Written By mhharismansur on Selasa, 01 Januari 2013 | 06.41


Bapak evolusi tentu tergetar melihat ilmu pengetahuan yang terilhami oleh teorinya.

OLEH MATT RIDLEY
FOTO OLEH LYNN JOHNSON
Darwin yang berasumsi bahwa evolusi merambat selambat gletser dan hanya dapat diamati dalam catatan fosil, tentu merasa sama senangnya dengan suatu temuan lainnya. Pada burung-burung pipit Galápagos yang sama, para Darwin modern dapat mengamati evolusi terjadi dalam waktu nyata. Pada 1973, Peter dan Rosemary Grant, sekarang di Princeton University, memulai pengamatan tahunan terhadap populasi pipit di pulau kecil Daphne Major di Galápagos. Mereka segera menemukan bahwa pada kenyataannya pipit berevolusi dari tahun ke tahun, saat kondisi pulau itu beralih dari basah ke kering dan basah kembali. Misalnya, Daphne Major awalnya mengamati hanya dua burung pipit tanah yang berbiak secara teratur, salah satunya adalah burung pipit tanah sedang (G. fortis) yang makan bebijian kecil. Ketika kemarau parah melanda pulau itu pada 1977 dan bebijian kecil menjadi langka, burung pipit sedang terpaksa beralih memakan bebijian yang lebih besar dan lebih keras. Burung yang berparuh lebih besar lebih mampu mencari makan dan dapat bertahan hidup untuk menurunkan sifat bawaan itu kepada anaknya.

Perubahan lain terjadi setelah pesaing tiba pada 1982: burung pipit tanah besar (G. magnirostris) yang juga makan bebijian besar yang keras. Selama bertahun-tahun, kedua spesies itu hidup berdampingan dan pada 2002, kedua jenis menjadi sangat berlimpah. Lalu kemarau tiba dan pada 2005 tinggal 13 pipit tanah besar dan 83 pipit tanah sedang yang masih hidup. Yang luar biasa, alih-alih menyesuaikan diri terhadap kemarau dengan makan bebijian yang lebih besar seperti yang dilakukan 28 tahun sebelumnya, pipit sedang yang menyintas mengalami pengecilan ukuran paruh yang mencolok karena saat bersaing dengan sepupu mereka yang lebih besar, pipit sedang berjuang mencari ceruk hidup dengan makan bebijian yang sangat kecil. Burung pipit yang berparuh lebih kecil bukanlah spesies pipit yang baru, tetapi Peter Grant menduga hanya diperlukan beberapa episode semacam itu sampai terbentuk spesies baru yang tidak mau bereproduksi dengan spesies asalnya.

Variasi yang terlihat di antara pipit Galápagos adalah contoh klasik “radiasi adaptif,” setiap spesies berevolusi dari leluhur yang sama untuk mengeksploitasi jenis makanan khusus. Radiasi terkenal lainnya terjadi di sekelompok pulau yang berbeda—pulau-pulau air, bukan tanah. Berbagai danau dan sungai di Great Rift Valley di Afrika dihuni oleh sekitar 2.000 spesies ikan mujair yang telah berevolusi dari beberapa leluhur, sejumlah antaranya hidup pada masa geologi yang singkat. Sebagai contoh, Danau Victoria, danau yang terbesar, baru benar-benar kering pada 15.000 tahun yang lalu. Sejak saat itu, ke-500 spesies mujairnya yang beragam berevolusi dari segelintir spesies yang asal-usulnya tidak diketahui. Seperti burung pipit, ikan mujair telah beradaptasi dengan makanan di habitat yang berbeda, seperti petak berbatu atau berpasir di dasar danau. Beberapa spesies makan ganggang dan memiliki gigi-gigi rapat yang sesuai untuk mengorek dan menarik tumbuhan, sementara spesies lain makan siput dan memiliki rahang tebal kuat yang mampu meremukkan cangkang siput. Gen apa yang bertanggung jawab dalam penebalan rahang itu? Gen untuk protein BMP4—gen yang juga menjadikan paruh pipit Galápagos tebal dan lebar. Apa bukti yang lebih tepat bagi keyakinan Darwin tentang kesamaan semua spesies, selain menemukan gen yang sama melakukan tugas yang sama pada burung dan ikan pada benua yang terpisah?

Dalam The Origin of Species, Darwin dengan bijaksana tidak menyinggung bagaimana teorinya dapat diperluas agar kesamaan juga menyertakan umat manusia. Sepuluh tahun kemudian dia menghadapi masalah itu secara frontal dalam The Descent of Man. Dia tentu akan senang mengetahui bahwa gen tertentu yang bernama FOXP2 sangat penting bagi perkembangan normal kemampuan bicara pada manusia dan kemampuan berkicau pada burung. Pada 2001 Simon Fisher dan rekan-rekannya di University of Oxford menemukan bahwa mutasi dalam gen ini menyebabkan cacat bahasa pada manusia. Dia kemudian memeragakan bahwa pada tikus, gen ini diperlukan untuk mempelajari urutan dari gerakan cepat; tanpanya, otak tak bisa membentuk koneksi-koneksi yang biasanya merekam pembelajaran. Pada manusia, menurut anggapan, FOXP2 penting untuk mempelajari gerakan rumit bibir dan lidah yang kita gunakan untuk mengekspresikan pikiran kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar