Hi ALL ,  welcome  |  MY SITE  |  PLEASE READ  |  THANK'S YOU ALL
Selamat datang di online learning, Ayo, terus belajar dan ilmu adalah teman yang paling baik. (kritik dan saran hubungi mhharismansur@gmail.com atau Hp. 081329653007)

Liberalisme dan Anti-imperialisme

Written By mhharismansur on Kamis, 31 Januari 2013 | 15.00

Bulan ini invasi Amerika terhadap Irak genap berumur tiga tahun. Invasi ini merisaukan bukan saja lantaran pelbagai alasan pembenarnya, dari senjata pemusnah massal sampai kaitan Saddam Hussein dengan Osama bin Laden, terbukti palsu belaka.

Invasi ini menyesakkan bukan saja karena dampaknya yang membikin Irak karut-marut dan membawa dunia ke dalam situasi yang semakin tidak aman dari terorisme. Yang tak kalah meresahkan adalah doktrin yang mendasari invasi, yang dijajakan oleh kaum neokonservatisme dan dianut oleh pemerintahan George W Bush. Doktrin ini lazim disebut ”imperialisme demokratik”.

Inti dari imperialisme demokratik adalah kombinasi antara kekuatan militer dan ide demokrasi. Dalam pandangan neokons, sebagai strategi perang melawan terorisme, Amerika harus menggunakan kekuatan militernya yang tak tertandingi untuk secara agresif menyebarkan demokrasi. Amerika tidak perlu segan tampil sebagai kekuatan imperial yang mempromosikan demokrasi ke seluruh jagat.

Namun, di sinilah letak soalnya: mungkinkah ide demokrasi yang bertumpu pada kebebasan dan otonomi dikawinkan dengan kekuatan militer yang bersandar pada jalan perang dan penaklukan. Yang satu mendambakan situasi dialogis, yang lain menargetkan dominasi. Diungkapkan dengan cara lain, bisakah cita-cita liberalisme (kebebasan dan self government) dicapai melalui imperialisme?

Untuk memperjelas duduk perkaranya, ada baiknya kita menengok debat yang sudah berlangsung lama tentang hubungan antara liberalisme dan imperialisme. Kaum kiri barangkali akan menganggap tidak ada yang aneh dengan imperialisme demokratik tersebut sebab dalam pandangan mereka, liberalisme akan selalu berujung pada sokongan terhadap imperialisme. Liberalisme tidak lain adalah ideologi pembenar atas naiknya kelas borjuis di pentas politik Eropa. Dan kelas borjuasi adalah aktor utama di balik imperialisme Eropa karena imperialisme, kata Lenin, adalah tahap tertinggi dari kapitalisme.

Sementara itu, bagi para penganut posmodernisme dan kritik poskolonial, imperialisme adalah konsekuensi logis dari modus pembentukan identitas Barat yang selalu disertai dengan eksklusi dan penaklukan terhadap the Other. Barat membentuk identitas dirinya dengan cara mengeksklusi dan menguasai non-Barat. Liberalisme adalah anak kandung dari narasi besar Pencerahan yang mendaku berlaku universal, yang dalam praktiknya selalu menaklukkan yang lain. Bahkan, Edward Said dalam bukunya, Culture and Imperialism, mendaku bahwa ekspresi artistik dan kultur Barat modern tidak mungkin berkembang tanpa petualangan imperial.

Buat kita yang hidup di suatu negeri dengan ingatan kolektif yang perih tentang penjajahan, antipati yang kental terhadap imperialisme semacam itu tentu memikat. Nada serangannya yang tajam terhadap liberalisme bisa jadi mengandung mystique tersendiri dan mengundang simpati yang luas.
Namun, pada hemat saya, kritik-kritik semacam itu mengabaikan dinamika-dakhil liberalisme dalam merespons imperialisme. Studi yang dilakukan oleh pasangan istri suami Jennifer Pitts dan Sankar Muthu, keduanya profesor teori politik pada Universitas Princeton, menunjukkan betapa kaitan antara liberalisme dan imperialisme bukanlah suatu hal yang monokromatik. Dalam bukunya, A Turn to Empire: The Rise of Liberal Imperialism in Britain and France(2005), Pitts melacak pemikiran liberal abad ke-19 dari Tocqueville dan Mill yang memang mendukung imperialisme. Sebaliknya, Muthu dalam bukunya, Enlightenment Against Empire (2003), mencatat bahwa liberalisme abad ke-18 dari pemikir Pencerahan macam Denis Diderot dan Immanuel Kant justru secara tajam mengkritik imperialisme. Wajah ganda liberalisme inilah yang tampaknya diabaikan oleh kritik Marxis, posmodernis, dan poskolonial.

Wajah ganda liberalisme

Selama ini Alexis de Tocqueville lebih banyak dikenal melalui karya briliannya tentang demokrasi di Amerika. Padahal, sosok yang sama juga menjadi arsitek kolonialisme Perancis di Aljazair. John Stuart Mill adalah pembela kebebasan individu dari ancaman tirani mayoritas. Namun, orang yang sama juga terlibat aktif dalam kolonialisme Inggris di India.

Tocqueville adalah pemikir liberal Perancis yang lahir dari keluarga aristokratik. Komitmennya pada liberalisme membuat ia resah demi menyaksikan situasi Perancis pada masanya, yang mengalami demokrasi sosial yang radikal karena berhasil menghancurkan relasi feodal ancient regime melalui Revolusi Perancis. Akan tetapi, demokrasi sosial di Perancis penuh pergolakan karena tidak dibarengi dengan kesadaran mengembangkan demokrasi politik. Keresahan inilah yang yang mendorong Tocqueville menulis Democracy in America. Di mata Tocqueville, Perancis perlu belajar dari demokrasi di Amerika karena Amerika berhasil mengelola demokrasi sosial dengan mengembangkan demokrasi politik. Untuk menyembuhkan pelbagai penyakit demokrasi, kata Tocqueville, obat yang paling mujarab adalah ”tambah demokrasi” (more democracy).

Lantas, kenapa Tocqueville mendukung imperialisme? Saya kira ini terkait dengan sosok pribadinya yang menghuni dua dunia: dunia liberal dan aristokrasi. Tocqueville sendiri pernah mengaku sebagai ”liberal by mind, aristocrat by heart”. Meskipun menegaskan pentingnya demokrasi, Tocqueville sebenarnya meratapi gejala hilangnya keagungan makna politik sebagai konsekuensi dari demokrasi massa. Ini ditandai dengan merosotnya patriotisme warga Perancis. Mereka menjadi semakin apolitis dan hanyut dalam kultur kapitalisme. Tocqueville lantas melihat kolonialisme Perancis sebagai pertualangan baru yang bisa menaikkan patriotisme dan mendongkrak kembali kebesaran Perancis. Karena itulah reputasi Perancis sebagai bangsa yang besar sangat bergantung pada kelanjutan kolonisasinya atas Afrika Utara.

Sebenarnya sikap Tocqueville ini bertentangan dengan pendiriannya sendiri dalam Democracy in America. Dalam buku tersebut, Tocqueville dengan pedas mencela kaum kulit putih yang merebut tanah Indian dan membawa mereka menuju kepunahan. Di mata Tocqueville, kesewenang-wenangan terhadap Indian dan perbudakan terhadap orang hitam adalah titik di mana spirit demokrasi absen di Amerika. Dengan kata lain, kepekaannya terhadap kebebasan dan kesetaraan tampak kuat mewarnai penggambaran Tocqueville tentang Amerika. Ironisnya, hal semacam ini tak terjadi ketika ia berbicara tentang Aljazair. Di sini liberalisme Tocqueville kalah oleh sentimen nasionalismenya.

Di sisi lain, John Stuart Mill adalah pemikir liberal Inggris yang mendukung dan terlibat dalam imperialisme negerinya atas India karena dia percaya tatanan imperial merupakan instrumen yang diperlukan untuk membawa bangsa terbelakang mencapai kemajuan. Argumen Mill bertolak dari klaim superioritas Inggris yang membawa misi pemberadaban. Dalam pandangan Mill, untuk mencapai kemajuannya, India tidak mungkin dibiarkan berdemokrasi sendiri karena pasti akan kacau. Demokrasi dan kebebasan hanya bisa berjalan baik dalam masyarakat dengan kultur dewasa seperti Inggris. Dalam pandangan Mill, imperialisme perlu karena itulah sarana yang secara bertahap akan membawa tahap ”kultur kanak-kanak” India ke tahap ”kultur dewasa”.

Pada tingkat tertentu, argumen Mill ini punya kemiripan dengan doktrin imperialisme demokratik ala neokons. Paling tidak, ini ditegaskan Stanley Kurtz, salah seorang pemikir neokons, yang menyarankan rezim Bush mengacu desain yang ditawarkan Mill tentang imperialisme Inggris di India sebagai model bagi pengelolaan Irak (Policy Review, 2003).

Bahwa Tocqueville dan Mill begitu antusiasnya mendukung proyek imperial negaranya masing-masing jelas merupakan suatu skandal yang menampar muka liberalisme. Akan tetapi, liberalisme imperial mereka bertentangan secara diametral dengan arus utama pemikiran liberal abad ke-18 yang sangat keras menghujat imperialisme. Di sini saya ingin menyebut dua nama penting: Edmund Burke dan Denis Diderot

Edmund Burke (1729-1797) adalah negarawan dan pemikir politik Inggris yang dikenal sebagai bapak konservatisme. Perlu dicatat, konservatisme di sini tidak mengacu pada makna kolot dan sikap serba tertutup, melainkan pada kecenderungan untuk memperjuangkan ide-ide liberalisme tanpa melalui revolusi, yakni sambil tetap menjaga tradisi dan institusi sosial politik yang ada. Karena itulah Burke mengkritik keras radikalisme Revolusi Perancis yang menurutnya kebablasan dalam meruntuhkan tatanan lama dan mendewakan rasionalitas. Lepas dari bias pemihakan Burke pada tatatan aristokrasi dalam konservatismenya, tendensinya mempertahankan dan merawat (to conserve), atau dalam bahasa NU ”muhafadzoh ala al qadim al-shalih”, menjadikannya skeptis terhadap imperialisme Inggris.

Menurut Burke, ekspansi imperial Inggris atas India dan Irlandia membisukan rasa keadilan masyarakat Inggris. Rasa keadilan, menurut Burke, mengandaikan adanya kemampuan untuk bersimpati terhadap penderitaan orang lain yang menjadi korban. Kemampuan ini akan melemah manakala antara kita dan sang korban terbentang suatu jarak. Ekspansi imperial adalah suatu jarak yang menyebabkan rasa keadilan masyarakat Inggris tidak terusik dengan penderitaan koloninya.

Ini memicu munculnya apa yang oleh Burke disebut sebagai geographical morality dalam imperialisme. Yaitu situasi di mana bangsa Inggris merasa bahwa nilai-nilai kebebasan dan keadilan yang mereka junjung tinggi hanya berlaku dalam cakupan geografi mereka sendiri, dengan mengecualikan geografi koloninya. Inilah yang menjelaskan kenapa The East India Company yang menjadi agen resmi Kerajaan Inggris di India bisa bertindak sewenang-wenang. Ketidakadilan semacam ini secara inheren tertanam dalam relasi kolonial. Burke mengkritik imperialisme karena gairah penaklukan akan membawa efek destruktif bagi manusia Eropa.

Namun, hujatan yang lebih pedas terhadap imperialisme sebenarnya datang dari Denis Diderot (1713-1784). Filsuf dan sastrawan Perancis ini merupakan salah satu eksponen utama Pencerahan yang percaya pada universalisme kemanusiaan, yang ia sebut sebagai the general will of humanity. Akan tetapi, tidak seperti yang disangkakan oleh kritik posmodernis, pertautannya dengan universalime tidak membawanya jatuh pada penaklukan terhadap yang lain. Karena menurut Diderot, ekspresi dari kehendak umum kemanusiaan tersebut dalam kenyataannya tidak pernah seragam dan tak pernah bisa diperbandingkan. Ini jelas tecermin dalam keragaman budaya di dunia.

Kritik Diderot terhadap imperialisme sesungguhnya bertolak dari universalisme semacam ini. Diderot dengan demikian menampik klaim superioritas Eropa yang merasa berhak melakukan ekspansi imperial atas nama pemberadaban, seperti dianut Mill di kemudian hari. Diderot bahkan menyebut tatanan imperial sebagai evils of empire.

Yang menarik, Diderot melihat imperialisme modern terkait erat dengan perdagangan. Pada titik ini Diderot menyebal dari kecenderungan utama pemikir Pencerahan yang umumnya menyambut perdagangan sebagai aktivitas yang akan mengakhiri perang dan membawa pada perdamaian. Diderot tidak percaya dengan optimisme semacam ini. Karena yang dia lihat, kombinasi antara ambisi penaklukan dan ketamakan para pedagang justru semakin mendorong negara-negara Eropa memperluas imperium mereka. Yang disesalkan Diderot, kombinasi semacam ini pada gilirannya melemahkan spirit republikanisme di tanah Eropa.

Diderot kemudian menyerukan agar kaum pribumi yang terjajah bangkit melawan imperialisme: ”Jangan bicara dengan bahasa keadilan karena mereka pasti tidak mau mendengarkan. Bicaralah kepada mereka dengan anak panah dan kapakmu.”

Resistansi antikolonial yang keras dari Diderot ini bisa dibilang mengejutkan karena sikap semacam inilah yang kemudian dominan dalam gerakan melawan penjajahan di Dunia Ketiga di awal abad ke-20. Betapa dekatnya pernyataan Diderot tersebut dengan ungkapan Jean Paul Sartre dalam pengantarnya untuk buku Franz Fanon, Wretched of the Earth, sebuah buku yang banyak mengilhami gerakan antikolonialisme Dunia Ketiga. Kata Sartre, ”dalam revolusi melawan kolonialisme, menembak mati seorang penjajah Eropa sama artinya dengan membunuh dua burung dengan satu batu sekaligus, yakni membunuh sang penjajah dan sang terjajah. Sang penjajah mati, dan sang terjajah menjelma menjadi orang bebas.”

Pertanyaannya kemudian, mengapa corak anti-imperialisme yang begitu dominan dalam diskursus liberalisme abad ke-18 tiba-tiba bergeser menjadi pro-imperialisme di abad ke-19? Jennifer Pitts menawarkan argumen menarik: naiknya pamor liberalisme imperial sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan konteks Eropa abad ke-19 yang memang sedang dalam puncak kejayaannya secara ekonomi, politik, dan militer. Dengan kekuasaan imperiumnya, Eropa tampil sebagai sang hegemon. Situasi semacam ini pada gilirannya menyebabkan para intelektual Eropa saat itu cenderung melihat imperialisme sebagai taken for granted.

Selain itu, menarik untuk dicatat bahwa di abad ke-19, penerimaan imperialisme bukanlah menjadi monopoli kaum liberal. Meskipun dasar argumennya berbeda dengan kaum liberal, Karl Marx dan Frederich Engels juga menerima kolonialisme sebagai suatu keniscayaan historis. Bagi Marx, imperialisme Inggris di India justru diperlukan untuk mengubah moda produksi di India yang stagnan dan terbelakang menjadi moda produksi kapitalis modern, untuk kemudian bergerak menuju sosialisme. Melalui kolonialisme, India bisa masuk dalam arah sejarah yang progresif. Sedangkan bagi Engels, penaklukan Perancis di Afrika adalah fakta yang mesti diterima sebagai jalan sejarah Afrika menuju kemajuan.

Demikianlah, dengan menengok sejarah liberalisme, kita tahu dalam soal imperialisme, liberalisme menampilkan wajah ganda. Kita bisa menemukan sosok Tocqueville yang pro tapi juga Diderot yang anti. Artinya, imperialisme bukanlah merupakan konsekuensi logis dari liberalisme. Hubungan keduanya tidak bersifat niscaya.

Atavisme hasrat imperial

Joseph Schumpeter dalam satu esainya tentang imperialisme menyatakan bahwa hasrat penaklukan dan imperialisme di zaman modern sesungguhnya adalah suatu gejala atavisme: ia merupakan pemunculan kembali dari gairah kuno yang berakar pada dunia lama, dunia praliberal yang masih bersemayam dalam diri para penguasa Barat modern.

Dalam kasus imperialisme demokratik yang menjadi doktrin neokons, saya kira Schumpeter benar. Para pendukung imperialisme demokratik memang hendak membangkitkan kembali imperialisme demokratik Athena. Salah satu rujukan favorit mereka adalah pidato Pericles saat pemakaman tentara Athena yang gugur dalam perang Peloponnesian antara Athena dan Sparta (431-404 SM). Thucydides, sejarawan Athena yang merekam perang itu dalam bukunya, A History of Peloponnesian War, melukiskan bagaimana Pericles mengingatkan kebesaran Athena untuk membangkitkan patriotisme bangsanya. Athena dalam versi Pericles adalah negara bebas yang demokratis dan menjunjung supremasi hukum, peradaban kosmopolitan yang menjalin perdagangan dengan bangsa lain. Athena adalah peradaban yang menjadi model bagi dunia dan karena itu punya wewenang moral untuk membangun imperium.

Kaum neokons menggemari pidato Pericles karena di mata mereka, imperialisme demokratik Amerika adalah versi modern dari imperialisme demokratik Athena. Hanya saja, kaum neokons lupa bahwa dalam perang Peloponnesian, imperialisme demokratik Athena akhirnya kalah oleh republik isolasionis Sparta.

Barangkali Amerika tidak akan bernasib seperti Athena yang kalah. Amerika mungkin tetap digdaya secara militer dalam perang Irak. Tapi, demokrasi yang disebarkan melalui perang dan penaklukan akan sulit menang. Setelah tiga tahun invasi Amerika, Irak bukannya memanen demokrasi, melainkan bom bunuh diri dan ancaman perang saudara.

Benjamin Constant, pemikir liberal anti-imperialisme yang hidup satu generasi sebelum Tocqueville suatu kali pernah berkata, ”Ide-ide liberal tidak bisa dipaksakan dari luar melalui penaklukan.” Saya kira pernyataan Constant ini masih berlaku sampai sekarang.


sumber : Klik disini
15.00 | 0 komentar

Marxisme dan Persoalan Sosialisme di Indonesia

Oleh : Abdul Hadi WM
Judul di belakang Islam dan Marxisme dalam catatan ini diambil dari salah satu karangan Mohamad Hatta. Sosialisme yang akan dibahas pula bukan hanya sosialisme Marxis, tetapi juga faham ekonomi lain yang lebih relevan bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar penduduknya menganut suatu agama, khususnya Islam. Khususnya seperti dikemukakan Bung Hatta di Indonesia dan Muhammad Husein Heikal di Mesir.

Pemikiran sosialisme seperti inilah yang mendasari gagasan Ekonomi Terpimpin Bung Hatta dan Mubyarto. Mereka berpendapat bahwa tatanan ekonomi terbaik yang mesti dijalankan di Indonesia haruslah berdasarkan keadilan sosial dan kian jauh dari praktek kapitalisme liberal.

Sebagai faham ekonomi, sosialisme mulai berkembang pada akhir abad ke-18 dan 19 M di Eropa. Ketika itu tatanan masyarakat feodal mulai runtuh sebagai akibat revolusi industri, yang memunculkan kelas penguasa baru di bidang ekonomi, yaitu kaum kapitalis. Sosialisme muncul sebagai reaksi terhadap kapitalisme.

Faham ini mulai muncul di Inggris dan Perancis menjelang Revolusi Perancis, dan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19 dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Proudhon, Karl Marx, Engels, Bakunin, Karl Kautsky, Plekhaniv, Lenin dan lain sebagainya. 
Walaupun faham sosialisme atheis seperti yang diajarkan oleh Marx dan Lenin ditolak oleh para cendikiawan dan ulama sebagai faham kemasyarakatan dan ekonomi yang bertentangan Islam, sejumlah cendekiawan Muslim sendiri memandang bahwa dalam Islam sebenarnya terkandung ajaran "semacam sosialisme". Ajaran ini tidak hanya terpendam sebagai cita-cita, tetapi malah telah dipraktekkan pada masa hidup Nabi dan khalifah al-rasyidin. Di antara cendikiawan Muslim abad ke-20 yang mengemukakan hal ini ialah Mohamad Hatta dan Muhammad Husein Heikal.

Persoalannya: relevankah sosialisme sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan bagi kita di Indonesia sekarang? Ajaran sosialisme seperti apa yang diajarkan Islam? Mengapa para pemuka Islam itu menolak faham sosialisme komunis atau Marxisme Leninisme?

Latar Belakang dan Penganjur Sosialisme

Sosialisme muncul sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M di Eropa. Revolusi industri yang terjadi di Inggris telah memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yaitu kaum borjuis yang menguasai sarana produksi karena penguasaan modal bertimbun di tangan mereka. Di sebelahnya sebagian besar masyarakat kota hidup sebagai buruh yang tenaga kerjanya diperas dan semakin miskin. Kekayaan yang dihasilkan karena kerja keras kaum pekerja ini hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis kapitalis yang jumlahnya tidak besar. Dari waktu ke waktu kesenjangan sosial dan ekonomi semakin ketara. Ketika itulah individualisme tumbuh.

Gereja sebagai lembaga sosial keagamaan yang masih berpengaruh ketika itu bersekutu pula dengan kaum kapitalis dalam mengeruk kekayaan yang sebenarnya merupakan hak rakyat banyak, karena merekalah sebenarnya yang bekerja keras. Sebagai akibat dari pesatnya perkembangan invidualisme dan kapitalisme ini hukum yang berlaku hanyalah hukum rimba. Undang-undang dibuat semata-mata demi kepentingan golongan borjuis (bandingkan dengan undang-undang yang dbuat VOC dan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, dan juga dengan keadaan sekarang). Secara ringkas, sosialisme merupakan reaksi terhadap keadaan ini

Sosialisme, seperrti telah dikemukakan, mula-mula muncul sebagai sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme liberal yang tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi. Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi Di antara tokoh-tokoh awal penganjur sosialisme dapat disebut antara lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837) , Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain sebagainya.

St. Simon dipandang sebagai bapak sosialisme karena dialah orang pertama yang menyerukan perlunya sarana-sarana produksi dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah/negara. Gagasannya merupakan benih awal lahirnya sistem Kapitalisme Negara (state capitalism). Fourie, tokoh sosialis berikutnya, adalah orang pertama di Eropa yang merasa prihatin melihat pertarungan tersembunyi antara kaum kapitalis dan buruh. Dia mengusulkan pada pemerintah Perancis agar membangun kompleks perumahan yang memisahkan kelompok-kelompok politik dan ekonomi, yang dapat menampung empat hingga lima ratus kepala keluarga. Ia menganjurkan hal ini untuk menghentikan pertarungan dan pertentangan ekonomi antara kaum kapitalis dan buruh. Pandangan ini tidak mendapat tanggapan positif, sedangkan ajaran St Simon banyak mendapat pengikut serta mendorong lahirnya Marxisme di kemudian hari.

Robert Owen, seorang ahli ekonomi yang berpandangan sama dengan Fouriee. Tetapi pandangan kurang bulat dibanding pandangan para pendahulunya. Ia mengajarkan pentingnya perbaikan ekonomi seluruh lapisan masyarakat dan penyelesaian masalah yang timbul antara kaum kapitalis dan buruh. Caranya melalui berbagai kebijakan yang dapat mengendalikan timbulnya kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Ia sendiri pernah menjadi manager sebuah pabrik. Pengalamannya sebagai manager sangat mempengaruhi pemikiran ekonominya. Sekalipun demikian ide-idenya dianut banyak orang di Inggris.

Louis Blanc adalah tokoh yang revolusioner dan ikut membidani meletusnya Revolusi Perancis. Menurutnya salah satu kewajiban negara ialah mendirikan pabrik-pabrik yang dilengkapi dengan segala sarana dan bahan produksi, termasuk peraturan-peraturan yang mengikat. Selanjutnya jika pabrik itu telah berjalan dengan baik diserahkan pengurusannya kepada para buruh dan pegawainya untuk mengatur dan mengembangkannya secara bebas. Organisasi dan managemen pabrik seluruhnya dibebankan kepada buruh, begitu pula kewenangan memajukan produksi, mencari pasar dan pembagian keuntungan. Sosialisme yang dianjurkan Louis Blanc disebut sosialisme kooperatif. Menurutnya kapitalisme akan hilang dengan sendirinya apabila gagasan-gagasannya itu diwujudkan. Sayang, apa yang diserukannya itu kurang mendapat tanggapan khalayak. Bahkan ia ditentang keras oleh para politisi dan ekonom. Pada tahun 1882 di Inggeris berdiri kelompok Fabian Society yang menganjurkan sosialisme berdasarkan gilde.

Tetapi pada akhir abad ke-19 sosialisme dan berbagai alirannya yang berbeda-beda, mulai mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya melontarkan ide-ide dan mengembangkan wacana di kalangan intelektual dan kelas menengah, tetapi juga terutama karena mengorganisir gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan bahkan revolusioner.

Pierre J. Proudhon (1809-1865) adalah penganjur sosialisme generasi kedua di Perancis setelah generasi St. Simon dan Louis Blanc. Tetapi berbeda dengan para penganjur sosialisme lain yang cenderung menghapuskan hak-hak individual atas sarana-sarana produksi, termasuk hak petani untuk memiliki tanah garapan, Proudhon justru bersikeras memperjuangkan dipertahankan hak-hak individual secara terbatas, termasuk hak petani untuk memiliki dan menggarap tanahnya, sebagai juga hak pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya. Jadi ia menolak ide kolektivisme penuh dari kaum sosialis radikal seperti Marx. Bagi Marx hak individual harus dihapus, termasuk hak pemilikan tanah. Di samping itu kaum tani bukan golongan yang penting dalam masyarakat yang bergerak menuju masyarakat sosialis sejati.

Marx berpendapat demikian karena faham dialektika materialismenya, yang menganggap bahwa sejarah bisa berubah hanya disebabkan oleh faktor-faktor produksi dan penguasaan sarana produksi oleh kaum proletar yang selama ini diperas oleh kaum kapitalis. Perbedaan pandangan antara Prodhoun dan Marx inilah yang membuat gerakan sosialis internasional mengalami perpecahan pada akhir abad ke-19, dan sosialisme pun pecah ke dalam berbagai aliran seperti sosialisme demokrat, komunisme ala Marx, sosialisme anarkis ala Bakunin, Marxisme-Leninisme, sosialisme ala Kautsky , sosialisme Kristen, dan lain-lain.

Kecuali itu ketidak berhasilan sosialisme memperoleh pengikut yang signifikan pada masa awal, tidak pula berhasil melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat terutama disebabkan karena para penganjurnya berkampanye di kalangan kaum elite dan intelektual. Khususnya dengan cara menggugah sentimen moral mereka, padahal mereka "khususnya kaum borjuis kapitalis" dengan semangat individualismenya yang tinggi tidak mengacuhkan masalah-masalah moral dan implikasi moral bagi tindakan-tindakan merejka. Rasa keadilan jauh dari pandangan hidup mereka. Yang penting menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya dengan "menghalalkan segala cara".

Karl Marx berbeda dengan penganjur sosialisme lain sebelumnya. Ia tidak membangun gerakan. Ia tidak memberi ampun sama sekali terhadap hak-hak individual dalam pemilikan sarana produksi. Ia berpendapat bahwa kekayaan individual bukan sesuatu yang terhormat dan dapat mengangkat martabat atau harkat seseorang. Karena dalam kenyataan ia diperoleh dengan cara memeras habis tenaga dan menindas hak-hak kolektif rakyat, terutama kaum yang merupakan lapisan terbesar dalam masyarakat industrial. Kakayaan individual ityu justru membuat jatuhnya martabat dan kehormatan seseorang. Karena ia diperoleh dengan jalan yang tidak bermoral, tanpa rasa malu dan rasa bersalah. Melalui korupsi, penipuan dan berbagai penyelewengan terhadap hukum.

Dehumanisasi yang dilakukan oleh kaum borjuis dan kapitalisme mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Marx lantas menulis bukunya Manifesto Komunis, Das Kapital dan lain-lain. Dia menyerukan agar kaum buruh sedunia bersatu di bawah panji-panji perjuangan "menghapus kelas". Ia yakin bahwa kedudukan seorang buruh sebenarnya jauh lebih mulia dibanding seorang kapitalis. Alasannya karena buruhlah yang secara langsung memproduksi kekayaan bagi semua orang.

Melalui seruannya Karl Marx berhasil membangkitkan semangat kaum buruh untuk berjuang. Kini mereka sadar bahwa upah yang mereka terimasebagai imbalan jerih payahnya itu lebih mulia dibanding penghasilkan kaum kapitalis yang diperoleh dengan cara-cara yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Di tangan Marx, sosialisme menjadi semacam "kepastian sejarah" dan pisau kritik yang tajam terhadap perkembangan masyarakat industrial dan kapitalisme liberal yang menghalalkan segala cara. Kemunculan gagasannya sangat tepat waktu, yaitu ketika wabah kapitalisme sedang merajelala di Eropa dan imperialisme Eropa menguasai negeri-negeri Asia dan Afrika. Wabah ini menimbulkan penyakit di mana-mana berupa kerusakan tatanan sosial, kehidupan moral dan keagamaan, kezaliman dan kedurjanaan. Dengan demikian sosialisme revolusioner dan komunisme yang lahir dari ajaran Karl Marx adalah buah simalakama dari perkembangan kapitalisme sendiri.

Tetapi ada pula bentuk sosialisme lain yang sangat radikal. Seandainya saja tidak muncul ajaran sosialisme yang dikemukakan oleh Karl Marx dan para pengikutnya, tentulah sosialisme yang lain inilah yang merajelala. Sosialisme yang disebut terakhir ini berasal dari ajaran Bakunin, tokoh sosialis yang pernah bersahabat dengan Marx dan sama-sama berguru kepada Proudhon. Bakunin (1814-1876) mengajarkan faham sosialisme yang tidak kalah radikal dengan berasaskan pengacauan dan anarkisme. Dia menyerukan agar rakyat yang tertindas melakukan tindakan apa saja untuk membuat perubahan. Baginya setiap orang memiliki kebebasan untuk berbuat seperti itu. Manusia tidak perlu tunduk pada norma-norma sosial, dan undang-undang serta hukum positif yang berlaku dalam masyarakat.

Gerakan anarkis terutama berkembang di Rusia pada abad ke-19, tanah kelahiran pencetusnya. Dari faham ini tumbuh berbagai gerakan radikal dan atheis revolusioner yang menghalalkan segala cara. Novel-novel Dostoyevski seperti Notes from the Undergrpund, Devil atau The Possessed, Karamasov Brothers, dll. banyak memberikan gambaran tentang gerakan dan kejiwaan kaum anarkis dan sosialis revolusioner Rusia abad ke-19.

Sosialisme Marx

Sosialisme Marx pada mulanya merupakan sebuah aliran pemikiran ekonomi, namun kemudian disebabkan oleh tuntutan sejarah lantas berkembang menjadi aliran pemikiran kemasyarakatan dan ideologi politik yang revolusioner. Pada mulanya pula, dibanding dengan ajaran yang dikemukakan oleh Robert Owen dan Bakunin, ia dipandang sayap moderat dari sosialisme. Namun ia segera menjadi revolusioner setelah daripadanya timbul gerakan-gerakan buruh dan sosialisme internasional.

Sebagai aliran pemikiran ekonomi Marxisme menggariskan tatanan kehidupan ekonomi tanpa kelas, yang di dalamnya kepemilikan sarana produksi bersifat kolektif. Tujuan itu bisa dicapai dengan menghapuskan pemilikanpribadi dan mendistribusikan kekayaan beserta sumber-sumbernya kepada rakyat banyak secara merata. Pandangan ini kemudian diperluas menjadi sistem nilai yang mencakup semua aspek kehidupan. Apabila tidak demikian maka perubahan sosial dan ekonomi tidak bisa digerakkan. Ajaran Marx berubah secara dramatik menjadi ideologi politik dan kenegaraan yang revolusioner pada akhir abad ke-19, dan mencetuskan timbulnya gerakan-gerakan revolusioner, khususnya di Rusia. Apalagi setelah diolah oleh Lenin yang mengharuskan adanya sebuah partai yang memperjuangkan ide-ide komunisme Marx.

Karena pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan revolusi itulah Karl Marx menyusun suatu falsafah kehidupan untuk menopang faham sosialismenya di bidang ekonomi dan politik. Sebagaimana telah diketahui, sosialisme Marx menumpukan perhatian pada masalah kebendaan dan perut. Dengan demikian ajarannya termasuk ke daam faham materialisme dengan memasukkan masalah sosial ekonomi, yaitu masalah pertarungan kelas dan suprlus nilai, ke dalamnya. Masalah yang bersifat kerohanian tersingkir jauh dari ajarannya. Pandangannya itu kemudian dikenal sebagai faham materialisme historis atau materialisme dialektik (dialectical materialism).

Ia mengecam sosialisme Fourier dan Robert Owen sebagai utopia karena tidak menunjukkan jalan bagaimana mencapainya. Marx sendiri sebenarnya juga tidak menunjukkan jalan, kecuali memberikan dasar-dasar ilmiah dan menjelaskan syarat-syarat dalam mencapai masyarakat sosialis.

Arah kebendaan dan kecenderungan sosialis pemikiran tokoh ini sangat dipengaruhi oleh perjalanan dan pengalaman hidupnya yang pahit, khususnya semenjak ia menyelesaikan kuliah di Universitas Berlin. Ia mendalami pemikiran-pemikiran falsafah yang sedang naik daun pada masanya, khususnya falsafah Hegel. Ia mendalami teori-teori ekonomi David Ricardo dan Adam Smith, serta pemikiran politik Voltaire dan Rousseau. Ia tertarik dengan pemikiran sosialisme yang berkembang di Perancis. Semua itu mempengaruhi jalan pikirannya yang radikal. Jika hendak dirumuskan ada unsur pokok dalam kehidupan ekonomi yang begitu menarik perhatian Marx untuk dipecahkan: (1) Materialisme dialektik yang menggerakkan perubahan sosial dalam sejarah umat manusia; (2) Pertarungan kelas antara kaum kapitalis dan kaum buruh atau proletar; (3) Surplus nilai dalam ekwnomi.

Ia pernah tinggal di Paris dan berguru pada Proudhon. Dia pernah menjalin persahabatan dengan Bakunin di kota ini, walaupun kemudian bertikai disebabkan perbedaan pandangan dalam menyusun strategi perjuangan. Tetapi ia juga bertemu dengan pemuda bernama Engels, seorang anak pengusaha besar, yang mengagumi ide-idenya dan sekaligus menjadi sahabat seperjuangan dalam mengembangkan sosialisme. Ia menyusun buku bersama Engels, yang membantu membiayai hidupnya selama tinggal di Inggeris dan menyusun buku-bukunya yang monumental seperti Manifesto Komunis. Karya monumentalnya Das Kapital ditulis dalam bahasa Jerman.

Materialisme dialektik (dialectical materialism) adalah faham yang menyakini bahwa asas kehidupan sepenuhnya bersifat kebendaan. Karena itu sejarah juga berkembang dan berubah disebabkan faktor-faktor dialektik dari hal-hal yang bersifat kebendaan. Karenanya itu teori Marx juga disebut historical materialism atau teori kebendaan sejarah.

Kata-kata dialectics atau dialectical berasal dari kata Yunani dialeces, yang artinya ialah mematahkan argumentasi lawan dengan menggunakan pendapat yang bertentangan. Ini dianggap sebagai cara terbaik dalam mencapai kebenaran atau hakekat dari suatu kebenaran. Kaum sosialis menggunakan istilah ini untuk memahami rahasia alam dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalamnya serta saling bertentangan. Di masa modern, untuk pertama kalinya istilah dialektik digunakan kembali oleh Hegel untuk menguraikan faham "idealisme dialektik"nya.

Dalam pandangan Hegel, wujud alam ini merupakan akibat dari adanya gerakan evolusi dari ide-ide yang saling bertentangan (thesa dan antithesa), tetapi dalam perkembangan puncaknya kedua hal yang saling bertentangan itu berpadu menjadi satu (sinthesa). Dalam pemikiran benda-benda atau segala sesuatu yang tampak di atas dunia ini tidak mempunyai eksistensi yang sebenarnya sebab semua itu hanyalah bayangan atau gambaran dari ide-ide yang tersembunyi. Semua itu maujud disebabkan proses dialektik dari ide-ide yang bekerja di belakang realitas.

Walaupun Marx mendasarkan falsafahnya pada idealisme Hagel, tetapi ia membalikkannya menjadi materialisme dialektik. Menurut Marx yang hakiki bersifat kebendaan, bukan yang bersifat kerohanian seperti ide. Perarungan dua unsur kekuatan dalam diri benda ditafsir oleh Marx sebagai gambaran pertarungan benda untuk mempertahankan kekekalannya dalam alam. Marx mengingari kewujudan roh atau kehidupan yang tidak dapat ditangkap oleh indera, karena baginya benda adalah dasar dari segala kehidupan. Di sini ia mengikuti pandangan Lametrie d Feurbach, dua filosof materialis yang hidup pada masa Hegel.

Berdasarkan faham materialisme dialektiknya itu dia menganalisa kejadian-kejadian sejarah . Dia menganggap benda sebagai asal-usul terjadinya sesuatu. Dari sinilah lahir thesisnya tentang "pertarungan kelas" (class struggle) dalam masyarakat industrial di Eropa pada abad ke-19 M. Menurut Marx, dalam setiap tatanan ekonomi, apabila perkembangan dan kemajuannya telah sampai pada fase tertentu, maka akan muncul kekuatan produksi. Kekuatan baru ini akan bertarung melawan kekuatan produksi yang lain, yang muncul bersamaan dengannya. Perkembangan tersebut pada saatnya akan melahirkan suatu kelas baru dalam masyarakat, yaitu setelah tatanan ekonomi yang sedang berjalan itu lenyap. Setelah itu akan terjadi perubahan yang bersifat integral, yaitu munculnya peraturan baru tetang kepemilikan yang menghambat kemajuan yang dicapai sebelumnya. Sudah dapat dipastikan bahwa perubahan ini akan menamatkan riwayat golongan yang sebelumnya menguasai sarana produksi dan kekayaan yang ditimbulkan bekerjanya sarana-sarana produksi. Golongan ini, yaitru golongan borjuis dan kapitalis, telah ditakdirkan oleh sejarah dialektik kebendaan untuk menguasai dan menikmati kekayaan yang dihasilkan oleh kelas pekerja yang teraniaya, tertipu dan tertindas.

Dibayangi oleh rasa takut akan lahirnya revolusi atau perubahan radikal yang membalikkan nasib mereka, maka mereka membuat tipu muslihat dengan segala macam cara agar tidak muncul perlawanan dari kaum yang selama ini mereka jadikan sapi perahan untuk menimbun harta. Kaum penindas diwakili oleh pemilik modal atau kapitalis borjuis (thesa), sedang lawannya (antithesa) ialah kaum buruh yang disebut sebagai proletar (rakyat jembel, atau rakyat jelata). Pertempuran atau pertarungan tersebut akan meletus jika kaum proletar mulai menyadari hak-haknya yang terampas, dan menyadari pula bahwa sejarah dapat bergerak ke arah yang berlawanan melalui gerakan revolusioner. Ia akan terus berkembang apabila mampu mendorong masyarakat memilih kepada kekuatan yang mana mereka akan memihak. Kemenangan yang akan diraih oleh pemenangnya tidak lain merupakan akibat dari tatanan ekonomi yang berlaku pada masa itu. Jadi munculnya suatu masyarakat baru yang bercorak sosialis merupakan sinthesa dari pertarungan kelas kaum kapitalis borujis vs kaum proletar.

Demikianlah secara ringkas dapat dikatakan bahwa sosialisme bagi Marx adalah buah yang tumbuh dari perkembangan masyarakat dalam sejarah di bawah pengaruh hukum dialektik. Ia tidak dicipta, tetapi merupakan kejadian yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari pertentangan dua kelas yang dilahirkan sejarah, yaitu kaum borejuis dan proletar. Dalam beberapa risalahnya dia menjelaskan bahwa sosialisme yang dikemukakan tidaklah bertujuan membuat suatu konstruksi masyarakat dalam suatu sistem yang bentuknya sudah selesai, melainkan menyelidiki suatu perkembangan sejarah yang menimbulkan kelas yang saling bertentangan dan kemudian mempelajari faktor-faktor yang membuat pertentangan itu lenyap. Engels mengatakan bahwa komunisme yang diajarkan Marx berisi uraian tentang syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk mencapai kemerdekaan kaum buruh.

Marx sebenarnya lebih merupakan peletak dasar komunisme dan ajarannya diberikan tafsir yang beragam oleh para pengikutnya. Setidak-tidaknya ada tiga macam aliran sosialisme yang berkembang setelah Marx meninggal: (1) Aliran yang mau memperbaharui teori dan pandangan politiknya, dengan menyesuaikan prinsip-prinsip ajaran itu dengan kenyataan. Aliran ini disebut revisionisme dan reformisme. Penganjurnya ialah Bernstein. Ia berusaha memperbaharui teori Marx dan menganjurkan agar dalam menempuh jalan ke sosialisme dilakukan reformasi, bukan revolusi. Reformasi yang dimaksud ialah perubahan berangsur-angsur dengan mengutamakan perjuangan dalam parlemen. Mereka percaya bahwa pelaksanaan demokrasi kaum buruh lambat laun akan mencapai suara terbesar dalam parlemen; (2) Aliran yang berpegang teguh pada ajaran Marx, disebut aliran dogmatik, yang pada mulanya dipimpin oleh Karl Kautsky.; (3) Aliran yang tetap berpegang pada teori Marx, tetapi dalam politik menempuh jalan yang revolusioner. Aliran ini dipimpinoleh Lenin. Karena itu kemudian aliran ini disebut Marxisme Leninisme atau Leninisme saja.

Menurut Lenin, untuk melaksanakan peralihan dari kapitalisme ke sosialisme, orang tidak perlu menunggu sampai kapitalisme matang, tetapi setiap ada kesempatan bagi kaum buruh untuk merebut kekuasaan, kesempatan itu dipergunakan sepenuh-penuhnya. Aliran yang pertama dan kedua tetap berada di dalam gerakan partai sosial demokrat. Sebagai sayap kanan dan sayap kiri dari sosialisme, sedangkan Lenin memisahkan diri, mendirikan organisasi sendiri yang kemudian menjelma Partai Komunis. Bagi Lenin, untuk mencapai tujuan tidak perlu ada partai massa. Aksinya didasarkan kepada anggota inti yang sedikit jumlahnya, tetapi bertekad keras dan berdisplin baja. Stalin mendefinisikan Marxisme Leninisme sebagai "Marxisme pada masa imperialisme dan revolusi proletar". Leninisme adalah teori dan taktik dari sebuah revolusi besar, teori dan taktik menuju tercapai kediktatoran proletar.

Kritik

Kritik dan pertanyaan terhadap Marxisme dan komunisme, telah banyak dikemukakan orang semenjak awal lagi. Setidak-tidaknya ada empat pokok persoalan dari ajaran Marx dan para pengikutnya yang mendapat sorotan tajam.

Pertama, Marx mengemukakan bahwa perubahan masyarakat dari tahap yang satu ke tahap berikutnya mengikuti hukum dialektik kebendaan yang berlangsung tanpa henti dalam sejarah. Demikianlah di Eropa kaum feodal yang berkuasa dalam masyarakat pra-industri, dengan tumbuhnya masyarakat industri digantikan kedudukannya oleh kaum kapitalis sebagai penguasa ekonomi. Ketika kapitalisme matang, maka muncul kelas baru yang tertindas, yaitu kaum proletar. Apabila kaum proletar menang, masyarakat sosialis yang tanpa kelas muncul. Pertanyaannya, setelah itu kelas apa lagi yang dilahirkan dalam masyarakat sosialis? Marx tidak memberi jawaban jelas.

Kedua, Marx berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat disebabkan adanya perbedaan kepentingan hidup. Ini akan mengakibatkan terjadinya pertarungan yang sengit antara kelas yang menindas (kapitalis) dan kelas yang ditindas (proletar) di seluruh dunia. Jadi di masa depan (abad ke-20 dan abad ke-21) menurut Marx, konflik yang terjadi di dunia ini akan lebih banyak ditimbulkan oelah pertarungan kelas. Ramalan ini ternyata meleset. Perang yang berkesinambungan sejak awal abad ke-20 hingga kini, khususnya Perang Dunia I dan II, banyak didorong masalah kepentingan nasional dan ideologi dibandingkan karena motivasi pertarungan kelas. Cina dan Vietnam, sesama negara komunis, pernah terjun ke kancah peperangan pada akhir 1970-an bukan disebabkan masalah pertarungan kelas, melainkan disebabkan oleh dorongan nasionalisme yang sempit.

Ketiga, Marx meramalkan bahwa apabila tidak berjuang dengan gigih nasib kaum buruh akan menjadi sangat buruk. Kenyataannya tidak selalu demikian. Di negara-negara maju kaum buruh mengalami perbaikan nasib yang sangat mencengangkan sebagai akibat adanya revisi terhadap kapitalisme liberal itu sendiri. Di Inggris dan bekas negara penjajah lain malah kaum buruh bersekutu dengan kapitalis dalam melakukan praktek penindasan di negeri jajahan mereka atas nama imperialisme dan perluasan kapitalisme.

Keempat, berhasilnya revolusi Bolsyewik (komunis Rusia yang berfahaman Marxisme-Leninisme) di Rusia pada tahun 1917 tidak mampu memperbaiki nasib kaum proletar seperti yang dijanjikan. Diktator proleariat dijalankan oleh penguasa partai komunis menindas rakyat jelata. Hal yang sama terjadi di Cina dan bekas negara komunis yang lain. Kecuali itu di negara-negara kapitalis sendiri terdapat kecenderungan untuk mempraktekkan sosialisme yang lebih manusiawi, dibanding di negara yang dahulunya berjuang untuk menciptakan masyarakat sosialisme ala Marx, Lenin, Stalin dan Mao.

Nurcholis Madjid (1987:189) misalnya menulis sebagai berikut: "Komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekwen. Dalam komunismelah seseorang menjadi atheis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhannya pada prinsip persamaan di antara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan (kebebasan) dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya. Diktator proletar, pada hakikatnya, ialah diktator pemimpin-pemimpin dan penguasa-penguasa.

Kecuali itu, kita menyaksikan bahwa banyak perubahan dalam masyarakat, bahkan revolusi, tidak semata-mata dilatar belakangi oleh faktor-faktor materi. Banyak peperangan pula dilatarbelakangi oleh dorongan nasionalisme, ideologi dan kebudayaan. Ini membuktikan bahwa asumsi-asumsi Marxis hanya sebagian saja mengandung kebenaran. Mas'ud an-Nadwi dalam bukunya Al-Isytiraqiyah wa al-Islam (Sosialisme dan Islam, 1981) mengatakan, Tetapi Marx dan para pengikutnya tidak mempedulikan faktor-faktor lain di luar kebendaan, oleh sebab mereka itu menganggap individu bagaikan barang mainan di bawah dominasi sistem ekonomi yang sedang berkuasa pada zamannya, walaupun kenyataan yang ada jauh dari teori-teori mereka.

Demikianlah dapat disimpulkan bahwa sosialisme merupakan paham sosial kemasyarakatan yang timbul sebagai wujud dari ketidakpuasan terhadap kesenjangan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan masalah pendapatan dan pemerataan kemakmuran negara. Sosialisme muncul dan dirumuskan sebagai penangkal terhadap kian kian buruknya akibat disebabkan kesenjangan yang kian menjadi-jadi. Dalam sejarah akibat buruk yang ditimbulkan oleh kesenjangan tersebut tidak hanya menyulut kecemburuan dan kebencian sosial, tetapi juga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan dan kekacauan yang justru merusak tatanan sosial yang ada. Bahkan ia menimbulkan gelombang revolusi besar yang berhasil menjebol tatanan pemerintahan dan masyarakat yang telah mapan. Contoh terbaik barangkali ialah apa yang dialami Rusia pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Kesenjangan sosial dan ekonomi yang diciptakan Tsar sejak permulaan abad ke-19 M telah menimbulkan berbagai gejolak sosial. Kesenjangan sosial yang terjadi tidak ditangani secara bijak. Dipengaruhi oleh berkembangnya gerakan-gerakan sosialis revolusioner di Eropa Daratan, di Rusia pun muncul kelompok-kelompok sosialis yang cenderung radikal. Kelompok-kelompok radikal ini sering melakukan aksi-aksi teror yang memusingkan kepala Tsar. Tetapi semakin gerakan ini ditindak dengan tegas, dan semakin banyak dari para pemimpinnya yang dijebloskan ke dalam penjara, semakin banyak pula ia mendapat simpati masyarakat, terutama kaum muda yang sadar. Pada akhir abad ke-19 gerakan revolusioner ini mendapat bentuknya yang definitif setelah munculnya Lenin. Pada tahun 1917, Lenin dan partai komunisnya berhasil menggulingkan pemerintahan absolut Tsar melalui jalan revolusi berdarah. Sejarah mencatatnya sebagai Revolusi Bolshewik, karena digerakkan oleh kaum Bolshewik sebutan bagi kelompok komunis Rusia yang dipimpin oleh Lenin dan Stalin.

Islam dan Sosialisme

Benih sosialisme sebenarnya telah lama muncul dalam sejarah masyarakat manusia di dunia ini. Plato, filosof Yunani abad ke-4 SM, disebut-sebut sebagai Bapak Sosialisme. Ini berarti bahwa di Yunani telah muncul paham sosialisme disebabkan kesenjangan sosial disebabkan masalah pendapatan. Meng Tze, abad ke-3 SM, juga dapat disebut sebagai Bapak Sosialisme Cina karena dia menghendaki pemerataan kesejahteraan yang ketika itu hanya dinikmati segelintir orang dalam masyarakat yaitu para jenderal dan kaum bangsawan. Seperti Plato, Meng Tze menghendaki apa yang kita sebut sekarang ini sebagai "keadilan sosial" di bidang ekonomi, dengan jaminan hukum dan politik dari negara secara pasti.

Cita-cita akan keadilan sosial juga dijumpai dalam ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen klasik dan Islam. Bahkan juga dalam agama Zoroaster atau Majusi, khususnya aliran Mazdakisme. Perilaku atau kebijakan ekonomi yang tidak mampu menopang, apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras dalam kitab suci agama-agama tersebut. Bung Hatta menulis dalam risalahnya "Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia" (1963), "Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme "perikemanusiaan" yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat. Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan perintah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana persaudaraan dengan tolong-menolong. Sebelumnya Bung Hatta telah menulis artikel berjudul "Islam dan Sosialisme" untuk menyambut Idul Fitri dalam Pandji Masjarakat No. 20, 28-Maret-1950.

Bung Hatta selanjutnya menyatakan, Jiwa Islam berontak terhadap kapitalisme yang menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia, yang membawa sistem yang lebih jahat daripada perbudakan, daripada feodalisme. Dunia ini kepuyaan Allah semata-mata yang disediakan untuk tempat kediaman manusia sementara, dalam perjalanannya menuju dunia baka. Kewajiban manusia tidaklah memiliki dunia, yang kepunyaan Allah, melainkan memeliharanya sebagaik-baiknya dan meninggalkannya (mewariskan) kepada angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih baik dari yang diterimanya dari angkatan terdahulu.

Al-Qur'an, khususnya surat al-Takatsur dan al-Humazah, mengutuk sikap ekonomi yang tidak produktif dan egois (sebagaimana dipraktekkan kalpitalisme liberal dan neo-liberalisme sekarang). Dalam surat al-Taubah ayat 34-35 dilukiskan betapa Islam mengutuk ketidakadilan ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat, sebagai berikut:.

"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu yang benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah,maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang pedih. Yaitu ketika harta itu dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan pnggung mereka. (lalu dikatakan kepada mereka): "Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan kamu sendiri di dunia, maka sekarang rasakanlah harta yang dulu kamu tumpuk itu.

Tema keadilan sosial dalam Islam ditopang oleh paham tentang persamaan manusia atau egalitarianisme yang menekankan kepada persamaan kesempatan, selain persamaan hak dan kewajiban. Tetapi karena tingkat kemampuan dan ikhtiar manusia berbeda-beda, maka timbul pula keragaman atas hasil usahanya. Karena itu Islam tidak setuju dengan paham komunisme yang bersemboyan "sama rata sama rasa" dengan akibat kebijakan dihapuskan hak-hak individual di atas hak masyarakat. Demikian pula pemilikan perorangan tetap dihormati, hanya saja diberi batasan agar tidak menimbulkan kesenjangan. Harta juga harus dibelajankan di jalan Allah, artinya ia harus dibelanjakan di jalan yang halal, seperti untuk menolong dan membantu sesama manusia yang memerlukannya disebabkan kekurangan, kemalangan dan lain sebagainya.

Memang kecenderungan atheisme yang terdapat dalam faham sosialisme modern dengan sendirinya akan ditolak oleh masyarakat beragama. Akan tetapi beberapa aspek dari pemikirsan kaum sosialis seperti keadilan sosial itu tidak ditolak. Di kalangan cendekiawan Muslim tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa dalam Islam sebenarnya terdapat pula ajaran yang sejalan dengan pokok-pokok pemikiran yang dikemukakan oleh sosialisme modern. Di antara tokoh-tokoh Islam yang berpendapat demikian antara lain ialah Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein Heikal. Di Indonesia, sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Cokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan Sosialisme) dan K. H. Agus Salim. Cokroaminoto memandang sistem kapitalisme yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia merupakan bentuk dari "Kapitalisme Murtad", sekali pun sistem ini menurut Max Weber lahir dari buaian agama Protestan, yaitu madzab Calvinis.
Tokoh-tokoh Islam lain yang berpikiran seperti itu dapat disebutkan di sini ialah Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Nurcholis Madjid, Mubyarto dan lain-lain. K. H. Agus Salim (1920), tokoh Sarekat Islam yang terkemuka, mengatakan bahwa gagasan tentang sosialisme tercakup dalam ajaran agama, khususnya Islam. Syafrudin Prawiranegara (1955) mengatakan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Tidak mengherankan karenanya oleh Kahin menyebut Masyumi sebagai partai Islam Sosialis, karena tokoh-tokoh sering mengemukakan bahwa sosialisme telah terdapat dalam ajaran Islam, sebagaimana dalam agama-agama samawi lain seperti Yahudi dan Kristen klasik, serta dalam agama Zoroaster, khususnya aliran Mazdak. Perilaku atau kebijakan ekonomi yang tidak mampu menopang, apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras dalam kitab suci agama-agama tersebut.


sumber : klik disini
14.54 | 0 komentar

Pengaruh Sistem Pemerintahan


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menemukan pengaruh sistem pemerintahan satu negara terhadap negara-negara lain perlu di ingat kembali bahwa bervariasinya sistem pemerintahan bisa di sebabkan situasi dan kondisi suatu negara, termasuk perbedaan latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing misalnya, sistem pemerintahan timbul dari bentuk Negara Monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggung jawaban menteri. Latar belakang negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensial adalah kebencian Negara Amerika terhadap pemerintahan Raja George III, sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris. Dengan memahami bentuk-bentuk pemerintahan tentunya akan lebih mudah dalam mengidentifikasi sistem npemerintahan di berbagai negara. Karena bentuk pemerintahan suatu negara sedikit banyak akan berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di berbagai negara. Hal tersebut juga mempengaruhi terjadinya perbedaan sistem pemerintahan antar negara.

B. Rumusan Masalah
Dengan adanya berbagai bentuk pemerintahan di berbagai negara. Lalu adakah pengaruh sistem pemerintahan satu negara terhadap negara lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengruh Sistem Pemerintahan Terhadap Negara Lain
Menemukan pengaruh sistem pemerintahan satu negara terhadap negara lain bisa disebabkan situasi dan kondisi suatu negara, termasuk perbedaan latar belakang selarah politik yang di alami oleh negara masing-masing. Misalnya sistem parlementer timbul dari bentuk negara monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggung jawab menteri. Selain itu, fungsi dari raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Dalam trias polotika terdapat sistem check dan balance.
Kedua sistem pemerintahan yaitu parlementer dan presidensial mempunyai keuntungan dan kelemahan. Keuntungan dari sistem parlementer yaitu bahwa penyesuaian antara pihak eksekutif dan legislatif dapat di capai dengan mudah. Namun sebaliknya, pertentangan antara keduanya itu bisa sewaktu-waktu terjadi menyebabkan kabinet harus mengundurkan diri dan akibatnya pemerintahan tidak stabil. Hal ini sering terjadi di Prancis dimana suatu kabinet itu mempunyai umur yang pendek. Hal serupa juga perhnah dialami oleh negara Indonesia, dimana Indonesia saat itu menerapkan sistem Demokrasi Liberal dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Serikat (UUDS 1950).
UUDS 1950 menetapkan sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh Perdana Menteri. Perdana Menteri dan para menteri bertanggung jawab kepada DPR. Apabila kebijaksanaan pemerintah tidak mendapatkan kepercayaan DPR, kabinet itu akan jatuh dan di bubarkan, kemuadian di bentuk kabinet baru lagi. Dengan kata lain, pada masa Demokrasi Liberal, pergantian kabinet sering terjadi atau kabinet tidak berumur panjang dan pemerintahan tidak stabil. Contoh kabinet pada masa Demokrasi Liberal sebagai berikut :
1. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
2. Kabinet Sukiman yang meneruskan Program Kabinet Natsir (27 April 1951-3 April 1952).
3. Kabinet Wiloko (3 April 1952-3Juni 1953)
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (12 Maret 1956-14 Maret 1957)
7. Kabinet Djuanda (9 April 1957-5 Juli 1959)

Pergantian kabinet yang sering terjadi tersebut mengakibatkan program kabinet tidak terlaksana. Akhirnya, setelah Dekrit Presidan 5 Juli 1959, sistem pemerintahan Indonasia berganti dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem Demokrasi Terpimpin, kekuasaan berada ditangan Presiden yang langsung memimpin kabinet. Kekuasaan Presiden memimpin kabinet ini sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden adalah kepala pemerintahan, berhak mengangkat, dan memberhantikan menteri-menteri negara.” Itulah sekilas tentang keuntungan dan kelemahan sistem pemerintahan parlementer. Sementara itu, keuntungan dari sistem presidensial yaitu pemerintahan untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil. Adapun kelemahannya yaitu ada kemungkinan terjadinya perbedaan tujuan negara yang ditekadkan oleh eksekutif dengan pendapat legislatif. Penyelenggaraan pemilu untuk memilih wakil rakyat dan presiden serta masa jabatannnya pun tidak sama, sehingga perbedaan pendapat yang timbul dari para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan keadaan lembaga itu menjadi berlainan. Misalnya, kebijaksanaan politik yang ditempuh oleh presiden Nixon bertentangan dengan pendapat congress mengenai perang Vietnam, itulah salah satu contoh diantara sekian banyak peristiwa yang terjadi. Selain keuntungan dan kelemahan sistem pemerintahan parlementer serta presidensial di atas, masih ada keuntungan dan kelemahan dari kedua sistem pemerintahan tersebut. Sistem pemerintahan merupakan unsur pokok yang dimiliki oleh negara. Dengan adanya sistem pemerintahan, maka arah kebijakan pemerintah suatu negara menjadi lebih jelas, terarah, efektif dan efisien. Dalam sistem pemerintahan negara dimuat aturan-aturan penyelenggaraan negara, termasuk prosedur birokrasi oleh pemerintah pusat dan penyelenggara-penyelenggara lainnya. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati sistem pemerintahan negara lain. Hal ini berkaitan dengan adanya hak pengakuan dari negara lain atas kedaulatan suatu negara. Penerapan sistem pemerintahan satu negara mempunyai pengaruh terjahadap negara-negara lain. Hal ini dapat kamu pelajari dari kisah berikut.
Di lingkungan negara-negara kerajaan yang menganut sistem Demokrasi Parlementer, selalu diadakan pemisahan antara jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan. Misalnya pemisahan antara jabatan kepala negara yang dipegang oleh raja (laki-laki) atau ratu (perempuan) dan jabatan kepala pemerintahan yang dipegang oleg perdana menteri (Prime Minister) atau dengan sebutan lain. Di Inggris ada ratu Elisabeth dan ada perdana menteri Tony Blaire, di Malaysia ada sultan serta Perdana Menteri, begitu juga di Jerman, Belanda, Belgia, Spanyol, dan Jepang. Berbeda dari negara negara tersebut,setelah terjadinya revolusi besar- besaran,negara prancis tidak memiliki raja.Kepala negara Prancis disebut Presiden,tetapi kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.Karena itu, Prancis disebut menganut sistem campuran antara presidensial dan Parlementer.Sistem pemerintahannya di sebut presidensial karena mempunyai Presiden, tetapi juga menganut sistem Parlementer karena mempunyai perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Atas pengruh kerajaan Inggris dan Prancis yang memiliki Wilayah jajahan yang luas,kedua model pemerintahan Inggris serta Prancis tersebut banyak di tiru dan dicontoh di hampir seluruh sunia.Negera-negara Asi dan Afrika, banyak sekali yang mencontoh modal Inggris atau Prancis itu. Karene pengaruhnya yang luas di benua Afrika, kebanyakan negara-negara Afrika m,encontoh model Prancis, sedangkan di Asia lebih banyak yang mencontoh model Inggris.
Namun, berbeda dari model Inggris dan Prancis tersebut, Amerika serikat dapat dikatakan berhasil mengembangkan model tersendiri. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan negara presidensial murni. Dalam sistem ini, kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan diorganisasikan kedalam satu tangan dengan sebutan presiden. Tetapi, kewenangannya dibatasi sesuai dengan prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum (constutional democracye). Kerangka pemikiran yang mendasri penerapan sistem pemerintahan presidensial ini dapat dikikatakan berkembang paling terkemudian. Pada tahap kedua, sistem kekuasaan yang terpusat ditangan raja didekonsentrasikan ketangan mereka yang tidak aberdarah biru yang kedudukannya disebut perdana mentri. Sejarah memperkenalkan beberapa konsep ketatanegaraan seperti “Constutional Monarchy”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah negara mangandung sistem pemerintahan dapat dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu :
1. Nilai-nilai yang dijadiakn dasar negara atau (idiologi) negara yang bersangkutan.
2. Latar belakang sejarah yang dialami oleh negara yang bersangkutan.
3. Pengaruh dari sistem pemerintahan negara lain yang dianggap sesuai dengan keadaan dan kondisi negara yang bersangkutan.
4. Situasi dan kondisi negara yang bersangkutan.
5. Dengan adanya sistem pemerintahan maka ada kebijakan pemerintahan suatu negara menjadi jelas, terarah, efektif dan efisien.
6. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk menghormati sistem pemerintahan negara lain.

sumber : Klik Disini
14.51 | 0 komentar

Determinasi Rasa Pengecap Pada Lidah

14.29 | 0 komentar

ALAT-INDRA-MANUSIA

14.27 | 0 komentar

sd3pkn PKn EdiHernawan

Written By mhharismansur on Rabu, 30 Januari 2013 | 07.10


sd3pkn PKn EdiHernawan -
07.10 | 0 komentar

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Written By mhharismansur on Senin, 28 Januari 2013 | 04.40

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat. Dasar hukum AMDAL adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang "Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup".

Dokumen AMDAL terdiri dari :
• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

AMDAL digunakan untuk:
• Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
• Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
• Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
• Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
• Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:
• Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
• Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
• masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006
2. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002
3. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006
4. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008


sumber : klik disini
04.40 | 0 komentar
Bse Information, Instructional Media And Educational Articles

Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Submit ExpressFree Webmaster Tools

go green indonesia!