Tembakau berjalin kelindan dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
OLEH PUTHUT E.A.
FOTO OLEH HAFIDZ NOVALSYAH
FOTO OLEH HAFIDZ NOVALSYAH
Dulu, profesinya dokter. Ia bahkan sempat mengambil spesialis bedah anatomi di Belanda. Akan tetapi, sudah sejak lama justru yang melekat kuat di dirinya adalah tembakau dan lukisan. Di usianya yang menjelang 74 tahun, ia masih bersemangat jika diajak bicara tentang kedua hal tersebut.
Dokter Oei Hong Djien bukanlah nama yang asing di dunia seni rupa Indonesia. Banyak pelaku seni rupa mulai dari seniman, kurator, kolektor, dan para pencinta seni rupa Indonesia yang sepakat bahwa Hong Djien adalah kolektor terpenting nomor dua di Indonesia. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa nomor dua saja dianggap penting? Sebab yang nomor satu adalah Soekarno, Presiden RI pertama yang memang gemar mengoleksi lukisan.
Tidak terlalu sulit mencari rumah Hong Djien di Magelang. Seorang perupa yang saya tanyai lewat pesan pendek cukup menjelaskan dengan kalimat ringkas: Pagarnya panjang dan penuh tanaman merambat. Dari luar pagar, rumah itu memang tidak menunjukkan apa-apa selain memang berpagar panjang, amat panjang untuk ukuran sebuah rumah.
Tetapi begitu memasuki halaman rumahnya, siapa pun yang ke sana langsung mengerti bahwa si empu rumah adalah pencinta seni. Berbagai karya instalasi dan patung dipajang di beranda rumah. “Ayo masuk!” suara Hong Djien yang khas, keras, dan spontan terdengar. Laki-laki berkacamata itu mendadak muncul di pintu lalu mengajak saya ke ruang tamunya yang juga penuh dengan karya seni. Salah satu lukisan yang terpajang di tembok ruangan itu saya kenali sebagai karya Nasirun.
“Saya sering mengatakan ke banyak orang, bagi saya, tembakau itu lebih dulu ada baru kemudian lukisan. Kenapa bisa begitu? Karena tanpa uang dari tembakau mustahil saya bisa membeli lukisan,” ujarnya sambil tertawa terkekeh. Hong Djien suka sekali tertawa.
Baginya, tembakau dan lukisan itu memiliki banyak persamaan. Profesinya sebagai grader tembakau sekaligus kolektor lukisan mensyaratkan panca inderanya untuk bekerja dengan optimal. “Bau tembakau itu ada hubungannya dengan rasa tembakau. Kalau baunya enak, rasanya pasti enak. Kalau baunya nyegrak (menusuk), pasti tembakau itu jika diisap terasa kasar. Kalau tembakau itu dipegang halus seperti sutera, pasti rasanya juga enak dan pulen. Begitu juga jika dilihat kelirnya bagus, pasti ada pengaruhnya terhadap rasa,” kalimat-kalimat Hong Djien meluncur deras, cenderung cepat.
Grader adalah profesi yang tugasnya membedakan kualitas tembakau, yang berpengaruh pada proses penentuan harga tembakau. Diperlukan keahlian dan pengalaman panjang untuk menjadi grader yang mumpuni. Mirip dengan profesi para pencicip anggur.
Hong Djien menggeluti profesi sebagai grader karena kebetulan. Kakek buyutnya yang berasal dari Cina mendarat di Semarang pada 1800-an. Tak lama kemudian, sang kakek buyut ke Temanggung dan memulai bisnis tembakau. Bisnis tersebut dilanjutkan kakeknya dan kemudian diwariskan ke orangtuanya.
Dokter Oei Hong Djien bukanlah nama yang asing di dunia seni rupa Indonesia. Banyak pelaku seni rupa mulai dari seniman, kurator, kolektor, dan para pencinta seni rupa Indonesia yang sepakat bahwa Hong Djien adalah kolektor terpenting nomor dua di Indonesia. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa nomor dua saja dianggap penting? Sebab yang nomor satu adalah Soekarno, Presiden RI pertama yang memang gemar mengoleksi lukisan.
Tidak terlalu sulit mencari rumah Hong Djien di Magelang. Seorang perupa yang saya tanyai lewat pesan pendek cukup menjelaskan dengan kalimat ringkas: Pagarnya panjang dan penuh tanaman merambat. Dari luar pagar, rumah itu memang tidak menunjukkan apa-apa selain memang berpagar panjang, amat panjang untuk ukuran sebuah rumah.
Tetapi begitu memasuki halaman rumahnya, siapa pun yang ke sana langsung mengerti bahwa si empu rumah adalah pencinta seni. Berbagai karya instalasi dan patung dipajang di beranda rumah. “Ayo masuk!” suara Hong Djien yang khas, keras, dan spontan terdengar. Laki-laki berkacamata itu mendadak muncul di pintu lalu mengajak saya ke ruang tamunya yang juga penuh dengan karya seni. Salah satu lukisan yang terpajang di tembok ruangan itu saya kenali sebagai karya Nasirun.
“Saya sering mengatakan ke banyak orang, bagi saya, tembakau itu lebih dulu ada baru kemudian lukisan. Kenapa bisa begitu? Karena tanpa uang dari tembakau mustahil saya bisa membeli lukisan,” ujarnya sambil tertawa terkekeh. Hong Djien suka sekali tertawa.
Baginya, tembakau dan lukisan itu memiliki banyak persamaan. Profesinya sebagai grader tembakau sekaligus kolektor lukisan mensyaratkan panca inderanya untuk bekerja dengan optimal. “Bau tembakau itu ada hubungannya dengan rasa tembakau. Kalau baunya enak, rasanya pasti enak. Kalau baunya nyegrak (menusuk), pasti tembakau itu jika diisap terasa kasar. Kalau tembakau itu dipegang halus seperti sutera, pasti rasanya juga enak dan pulen. Begitu juga jika dilihat kelirnya bagus, pasti ada pengaruhnya terhadap rasa,” kalimat-kalimat Hong Djien meluncur deras, cenderung cepat.
Grader adalah profesi yang tugasnya membedakan kualitas tembakau, yang berpengaruh pada proses penentuan harga tembakau. Diperlukan keahlian dan pengalaman panjang untuk menjadi grader yang mumpuni. Mirip dengan profesi para pencicip anggur.
Hong Djien menggeluti profesi sebagai grader karena kebetulan. Kakek buyutnya yang berasal dari Cina mendarat di Semarang pada 1800-an. Tak lama kemudian, sang kakek buyut ke Temanggung dan memulai bisnis tembakau. Bisnis tersebut dilanjutkan kakeknya dan kemudian diwariskan ke orangtuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar