Bapak evolusi tentu tergetar melihat ilmu pengetahuan yang terilhami oleh teorinya.
OLEH MATT RIDLEY
FOTO OLEH LYNN JOHNSON
FOTO OLEH LYNN JOHNSON
Mungkin seharusnya lebih banyak ilmuwan yang menyadari hal ini lebih awal. Lagi pula, tubuh tidaklah dirakit seperti mesin di dalam pabrik; tubuh tumbuh dan berkembang, jadi evolusi akan selalu tentang proses pertumbuhan, dibandingkan menentukan hasil akhir pertumbuhan itu. Dengan kata lain, jerapah tidak memiliki gen khusus untuk leher panjang. Gen pertumbuhan lehernya sama dengan yang ada di tikus; tetapi mungkin gen itu diaktifkan untuk waktu yang lebih lama, sehingga akibatnya leher jerapah lebih panjang.
Sebagaimana Darwin menarik pelajaran dari fosil armadillo serta burung rhea dan pipit yang hidup (baca “Petunjuk Pertama Darwin,” halaman 34), para penerus ilmiahnya menggabungkan pengetahuan dari gen dan dari fosil untuk memahami sejarah kehidupan. Pada 2004, Neil Shubin dari University of Chicago dan rekan-rekannya menemukan fosil berumur 375 juta tahun di Arktika Kanada—makhluk yang pas untuk menempati celah antara ikan dan binatang yang hidup di darat. Mereka menyebutnya Tiktaalik yang bermakna “ikan air tawar yang besar” dalam bahasa Inuktitut di daerah itu. Walaupun jelas-jelas merupakan ikan dengan sisik dan sirip, Tiktaalik memiliki kepala pipih ala amfibi dengan leher yang khas dan tulang di dalam siripnya cocok dengan tulang lengan atas, bawah, dan bahkan pergelangan tangan binatang darat: inilah rantai yang hilang, jika memang ada. Satwa tersebut mungkin dapat hidup di air dangkal atau merayap di dalam lumpur saat menghindari pemangsa.
Sama menariknya adalah hal yang diungkap Tiktaalik kepada Shubin dan rekan-rekannya di dalam laboratorium. Gen fosil itu sudah hilang dalam kabut waktu. Namun, terilhami oleh temuan ini, para peneliti tersebut mempelajari penggantinya yang masih hidup—ikan-bertulang primitif yang bernama ikan moncong bebek (Polyodon spathula)—dan menemukan bahwa pola ekspresi gen yang membentuk tulang dalam siripnya sama dengan yang membentuk tungkai pada embrio burung, mamalia, atau satwa darat lainnya. Perbedaannya hanyalah bahwa gen itu diaktifkan lebih singkat pada ikan. Temuan ini menjungkirkan konsep yang lama dipercaya bahwa untuk mendapatkan tungkai perlu peristiwa evolusi yang radikal. “Ternyata perkakas genetis yang diperlukan untuk membuat tungkai sudah ada di sirip,” ujar Shubin. “Hal itu tidak melibatkan pembentukan gen baru dan proses pengembangan. Hal itu melibatkan pemakaian ulang resep genetis lama dalam cara baru.”
Walaupun membenarkan Darwin dalam berbagai cara, genetika modern juga menyoroti kesalahan terbesarnya. Ide Darwin tentang mekanisme pewarisan ternyata kacau—dan salah. Darwin berpendapat bahwa organisme menggabungkan sifat-sifat induknya dan di kemudian dalam kehidupannya, dia mulai meyakini bahwa organisme juga mewariskan sifat yang diperoleh semasa hidupnya. Darwin tidak pernah memahami, seperti pemahaman yang dimiliki pendeta Moravia Gregor Mendel yang sederhana, bahwa organisme sama sekali bukanlah gabungan kedua orang tuanya, melainkan hasil kumpulan dari banyak sekali sifat individu yang diteruskan oleh ayah dan ibunya dari orang tua mereka, dan kakek neneknya. Makalah Mendel yang menerangkan tabiat pewarisan itu diterbitkan pada 1866 dalam sebuah jurnal Moravia yang tak dikenal, hanya tujuh tahun setelah The Origin of Species. Dia mengirimkannya dengan penuh harap kepada beberapa ilmuwan terkemuka saat itu, tetapi tidak berhasil menarik perhatian. Menjadi nasib pendeta itu meninggal bertahun-tahun sebelum orang menghargai nilai penting penemuannya. Namun warisannya, seperti juga warisan Darwin tetap hidup hingga sekarang.
Sebagaimana Darwin menarik pelajaran dari fosil armadillo serta burung rhea dan pipit yang hidup (baca “Petunjuk Pertama Darwin,” halaman 34), para penerus ilmiahnya menggabungkan pengetahuan dari gen dan dari fosil untuk memahami sejarah kehidupan. Pada 2004, Neil Shubin dari University of Chicago dan rekan-rekannya menemukan fosil berumur 375 juta tahun di Arktika Kanada—makhluk yang pas untuk menempati celah antara ikan dan binatang yang hidup di darat. Mereka menyebutnya Tiktaalik yang bermakna “ikan air tawar yang besar” dalam bahasa Inuktitut di daerah itu. Walaupun jelas-jelas merupakan ikan dengan sisik dan sirip, Tiktaalik memiliki kepala pipih ala amfibi dengan leher yang khas dan tulang di dalam siripnya cocok dengan tulang lengan atas, bawah, dan bahkan pergelangan tangan binatang darat: inilah rantai yang hilang, jika memang ada. Satwa tersebut mungkin dapat hidup di air dangkal atau merayap di dalam lumpur saat menghindari pemangsa.
Sama menariknya adalah hal yang diungkap Tiktaalik kepada Shubin dan rekan-rekannya di dalam laboratorium. Gen fosil itu sudah hilang dalam kabut waktu. Namun, terilhami oleh temuan ini, para peneliti tersebut mempelajari penggantinya yang masih hidup—ikan-bertulang primitif yang bernama ikan moncong bebek (Polyodon spathula)—dan menemukan bahwa pola ekspresi gen yang membentuk tulang dalam siripnya sama dengan yang membentuk tungkai pada embrio burung, mamalia, atau satwa darat lainnya. Perbedaannya hanyalah bahwa gen itu diaktifkan lebih singkat pada ikan. Temuan ini menjungkirkan konsep yang lama dipercaya bahwa untuk mendapatkan tungkai perlu peristiwa evolusi yang radikal. “Ternyata perkakas genetis yang diperlukan untuk membuat tungkai sudah ada di sirip,” ujar Shubin. “Hal itu tidak melibatkan pembentukan gen baru dan proses pengembangan. Hal itu melibatkan pemakaian ulang resep genetis lama dalam cara baru.”
Walaupun membenarkan Darwin dalam berbagai cara, genetika modern juga menyoroti kesalahan terbesarnya. Ide Darwin tentang mekanisme pewarisan ternyata kacau—dan salah. Darwin berpendapat bahwa organisme menggabungkan sifat-sifat induknya dan di kemudian dalam kehidupannya, dia mulai meyakini bahwa organisme juga mewariskan sifat yang diperoleh semasa hidupnya. Darwin tidak pernah memahami, seperti pemahaman yang dimiliki pendeta Moravia Gregor Mendel yang sederhana, bahwa organisme sama sekali bukanlah gabungan kedua orang tuanya, melainkan hasil kumpulan dari banyak sekali sifat individu yang diteruskan oleh ayah dan ibunya dari orang tua mereka, dan kakek neneknya. Makalah Mendel yang menerangkan tabiat pewarisan itu diterbitkan pada 1866 dalam sebuah jurnal Moravia yang tak dikenal, hanya tujuh tahun setelah The Origin of Species. Dia mengirimkannya dengan penuh harap kepada beberapa ilmuwan terkemuka saat itu, tetapi tidak berhasil menarik perhatian. Menjadi nasib pendeta itu meninggal bertahun-tahun sebelum orang menghargai nilai penting penemuannya. Namun warisannya, seperti juga warisan Darwin tetap hidup hingga sekarang.
sumber asli : NG Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar