Hi ALL ,  welcome  |  MY SITE  |  PLEASE READ  |  THANK'S YOU ALL
Selamat datang di online learning, Ayo, terus belajar dan ilmu adalah teman yang paling baik. (kritik dan saran hubungi mhharismansur@gmail.com atau Hp. 081329653007)

Jika Tercipta Kaya Dan Miskin

Written By mhharismansur on Kamis, 27 Desember 2012 | 02.13


Anggaplah kita setuju bahwa hidup itu berpasangan: kaya dan miskin. Mari berandai-andai bahwa kita pernah mengalami keduanya. Dari pengalaman tersebut kita sampai pada kesimpulan bahwa kaya itu mengenakkan, nyaman, damai; sementara miskin itu tidak mengenakkan, full-pailit, serba-susah. Mana di antara dua pilihan berikut yang mencerminkan sikap kita: (1) muak hidup miskin dan tidak mau hal itu terulang lagi; atau (2) menikmati hidup kaya dan ingin selamanya di posisi tersebut. 

Semoga kita tidak sampai merasa muak dengan kemiskinan, tapi juga bukan berarti menyukai/menikmatinya. Menginginkan hidup kaya, tentu, tak ada yang melarang, tetapi jangan terlalu yakin bahwa kita akan selamanya di posisi itu. Poin pentingnya adalah: pengalaman traumatik akan kemiskinan jangan sampai dibuang gara-gara kita muak kepadanya. Simpanlah, sebaik-baiknya, sebagaimana memperlakukan surat-surat cinta melankolik masa remaja: melipatnya seperti posisi lipatan buatan pengirim, menatanya rapih di peti kayu (atau di manapun yang menurut kita aman). Kelak, jika perlu, kita akan membuka ulang, membacanya, mengenangnya. 

Kata para psikolog, setiap dari kita, pada usia-usia tertentu, akan mengalami puber kedua. Yakni, masa dimana tubuh dengan segala gerak dan respon otomatiknya membawa kita kembali ke masa ketika saraf-saraf cinta berbinar seperti masa remaja. Tentu, dengan skala dan masivitas yang berbeda: bisa berkurang, tetapi bisa jadi lebih. Pada saat seperti ini kita perlu membuka kotak kayu itu. Jika berhasil membukanya, dan dokumen itu masih ada (atau paling tidak, kita masih bisa membaca huruf demi hurufnya), kita akan mendapat pelajaran berharga. Bahwa dulu, dengan suasana dan perasaan yang persis sama (atau mendekati sama) dan kita merespons dengan cara X, hasilnya seperti Y. Saat ini keputusan kembali ada di tangan kita: kembali memilih X dengan harapan akan menghasilkan Y, atau memilih X1 karena ingin hasilnya menjadi Y1. Namun yang jelas, pengalaman itu membantu kita dalam memilih keputusan terbaik ketika suatu saat dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sama. 

Seperti itulah sebaiknya kita memaknai (pengalaman) kemiskinan/kekurangan. Bukankah kita sama-sama sepakat bahwa nasib itu bundar seperti bola sebagai representasi dari sesuatu yang tidak pasti dan serba-mungkin. Kita menganalogikannya demikian karena sifat gerak spesifik (khas) dari benda berbentuk bundar adalah menggelinding, berputar 160 derajat dengan posisi yang sembarang/acak, dengan ujung (akhir) dari gerak yang juga sembarang dan tidak pasti. Tetapi yang jelas, setiap gerak dimulai dari pangkal dan pasti berujung serta sangat mungkin gerak dari putaran tersebut tidak cukup sekali. 
Artinya, seandainya saat ini kita di posisi kaya (dengan dan/atau tanpa sebelumnya berkubang dengan kemiskinan/kekurangan), bukan berarti posisi itu akan kekal, meskipun kita sudah berusaha mati-matian mempertahankannya. 

Bagi yang belum merasakan miskin/kekurangan, belajarlah dari mereka yang miskin. Kalau perlu, cobalah berandai-andai atau paling tidak berempati bahwa yang miskin itu agar kelak ketika kemiskinan itu benar-benar datang, sudah punya pengalaman (meskipun sebatas pengalaman imajiner, tetapi itu akan sangat berarti ketimbang tidak punya sama sekali). Bagi yang pernah miskin/kekurangan dan sekarang di posisi kaya (baik pake embel-embel “raya” maupun derajat kaya biasa), janganlah terlampau muak dengan kemiskinan dan mengubur dalam-dalam kenangan itu, apalagi terlampau yakin bahwa kondisi seperti itu tidak akan terulang lagi.

Rasionalisasinya ada pada dua hal. Pertama, analogi nasib yang bundar laksana bola yang berarti berpangkal (ada titik mulai), sembarang, tak tentu, tak pasti, tak cukup sekali, mudah berubah (diubah dan/ atau terubah), berujung (pasti berakhir di titik tertentu). Kedua, hakikat hidup (hayun, Arab atau bio, Latin) yang berarti berawal dan berakhir serta bergerak. Filosofi dari kedua hal tersebut adalah: selagi hidup belum sampai pada maut, bola itu akan tetap berputar, memusing, karena hakikat dari hidup adalah bergerak. Oleh karena itu, bersiap-siaplah: bersiap-siap kaya, tapi kaya yang barokah dan menjadikan kita kaya hati; dan bersiap-siap miskin, tapi miskin yang iklas dan menjadikan kita orang yang sabar. 

Sesungguhnya, semua yang terjadi pada hidup kita, kaya dan miskin, itu adalah ujian. Kita bisa jadi lulus ketika dihadapkan pada kondisi miskin, tapi belum tentu lulus pada kondisi kaya, atau sebaliknya. Jangan sampai kita tidak lulus di keduanya, tetapi yang paling baik adalah lulus di keduanya. Seperti nasib yang serba mungkin, kita semua pun sangat mungkin lulus di kedua ujian itu. Semoga.

sumber : klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar